HISTERIA

1.8K 282 17
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Ruko-ruko tua yang tampaknya telah lama dibiarkan kosong berderet di sepanjang jalan menuju persimpangan jalan Artatika.

Sebagian besar atapnya dimakan karat. Dan sejumlah plang yang tulisan dan warnanya sudah memudar masih berdiri tegak. Aku melirik setiap teras tak terpelihara di lantai atas sana, mengecek apakah ada jendela yang terbuka ataupun lampu yang dinyalakan. Tapi sialnya semua jendela itu tertutup. Dan lebih parahnya lagi, tak satupun dari bagian luar bangunan itu memiliki penerangan. Semua fiting yang seharusnya diisi oleh bohlam tampak sama kosong. Seperti halnya rumah hantu.

Beberapa meter di belakang sana, pria itu masih mengikutiku tanpa tergesa. Langkahnya begitu tenang dan teratur. Seakan ia sedang jalan-jalan sore untuk melepas penat. Namun bisa kurasakan tatapannya menusuk punggungku. Menanti saat yang tepat untuk menyerang. Bagai seekor singa yang sedang menunggu mangsanya lengah.

Apa yang harus kulakukan? Dilihat dari ukuran tubuhnya, pria berjaket itu tak membutuhkan terlalu banyak tenaga untuk menjatuhkanku dalam sekali hantam. Kalaupun aku berlari dengan kekuatan penuh, sepertinya ia masih mampu menandingi kecepatanku dengan kakinya yang jenjang. Aku meneguk ludah ketika persimpangan jalan Artatika hanya berjarak beberapa langkah lagi.

Kedua kakiku menjerit ingin berlari, tapi aku tak boleh melakukannya. Tidak sekarang. Aku tak ingin memberi sinyal menantang di saat nyawaku sedang terancam. Buku-buku jariku memutih seiring genggamanku pada tali ransel kian mengerat. Pria itu tak mempercepat langkahnya. Ini belum waktunya untuk panik.

Memasuki jalan Artatika, pandanganku mendarat pada seorang wanita tua yang sedang menyapu halaman sebuah toko di sisi trotoar. Pintu toko itu terbuka dan dari dinding kacanya yang lebar dapat kulihat sejumlah orang hilir mudik di dalamnya. Modus operasi penyelamatan diri langsung terbentuk di dalam kepalaku.

"Permisi," ucapku pada wanita itu sembari melangkah masuk ke dalam toko.

Semerbak setanggi langsung menyergap penciumanku. Tapi aku terlalu sibuk mencari tempat sembunyi untuk mempedulikan toko macam apa yang sedang kumasuki ini. Begitu menemukan titik yang kurasa aman, aku berpura-pura memilih barang dan mencuri pandang ke arah luar toko. Kalau si penguntit itu masih berani mengikutiku ke dalam sini, aku akan berteriak sekencang-kencangnya dan menuduh ia telah melakukan pelecehan.

Tapi pria berjaket itu terus melangkah tanpa sekalipun menoleh ke arah toko dimana aku bersembunyi.

Ternyata ini lebih mudah dari yang kuduga. Begitu sosoknya lenyap dari pandanganku, aku pun menghela napas lega. Sekarang aku tinggal memusingkan diri dengan mencari dimana letak rumah pak Darsa. Agar tak membuang waktu, mungkin aku bisa meminta bantuan pada salah satu karyawan di toko ini. Aku melihat sekeliling untuk mencari seseorang yang bisa kutanyai, dan menyadari jika diriku sedang bersembunyi di sebuah toko perlengkapan mayat.

Ketakutan ternyata dapat melumpuhkan logika. Aku sama sekali tak melihat kemenyan, kain kafan, segala macam botol wewangian, beragam kendi, dan juga bunga tabur di dalam sejumlah baskom saat masuk ke dalam toko yang mendadak sepi ini. Semerbak setanggi itu berembus kembali dan kurasakan sebuah tangan ringkih menepuk pundakku.

THE CHOSEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang