"Kamu udah yakin?"
Aku benci ketika ibu memberi argumen yang masuk akal. Setelah berkali-kali aku mengaku menyanggupi, ibu kembali menyerang titik terlemahku: tentang kesungguhan. Niat dari hati. Dan sejenisnya.
Ibu percaya jika sesuatu yang dilakukan tanpa niat hanyalah kesia-siaan yang pasti berakhir pada kegagalan. Percuma, katanya.
"Ela udah biasa ngasuh anak kecil, bu, Ela pasti bisa."
Ucapanku justru terdengar seperti sedang meyakinkan diri sendiri ketimbang berusaha membujuk ibu. Beliau memandang ke luar jendela. Matanya tampak bimbang.
"Ini satu-satunya kesempatan Ela untuk bisa bayar spp, bu." Aku menggenggam tangan ibu, berharap ia dapat mengerti kegundahanku. "Ela bisa minta bantuan mereka."
"Iya kalau mereka mau, tapi kalau nggak gimana?" tutur ibu dengan nada pesimis. "Kamu gak kenal mereka, Stela."
Semangatku yang tadi sempat meningkat kini merosot drastis. Jika ibu sudah menyebut nama depanku dengan lengkap, artinya dia mulai geram. Bisa dipastikan usahaku telah mencapai pintu kegagalan.
"Tapi Ela gak mau putus sekolah, bu." Keluhku dengan putus asa. Semakin hari uang kami semakin menipis. Belum lagi ibu sedang membutuhkan biaya operasi yang tak sedikit. Apa sih yang diharapkannya? Uang sekarung jatuh dari langit, gitu?
Tak satupun di antara kami ada yang berbicara untuk beberapa menit yang terasa seperti selamanya. Aku menarik-narik ujung kaus favoritku. Lengan pendek, berwarna abu-abu. Bahannya sudah lumayan lentur akibat keseringan dicuci selama bertahun-tahun. Gambar kamera di bagian depan sudah memudar, nyaris polos.
Ibu tiba-tiba saja mendesah. Tangannya yang tadi sempat memijat pelipis diturunkan ke depan. Sepertinya ia telah memutuskan. Aku menatapnya tanpa berkedip. Dalam hati harap-harap cemas.
"Kamu tahu kan ibu paling gak suka dengan yang namanya hutang." Ia menatapku seperti seekor serigala alfa pada omeganya. Penuh kuasa. Tak terbantahkan. "Karena itu, selama ini ibu selalu ngajarin kamu hidup hemat."
Aku mengangguk paham.
"Ibu gak punya cara lain untuk bayarin spp kamu." Ia mendesah lagi. Kali ini tampak lebih terbebani. "Kamu boleh kerja dengan keluarga itu, tapi dengan satu syarat." Tambahnya saat kedua sudut bibirku mulai terangkat.
"Kamu harus hati-hati."
Tanpa tunda lagi, aku langsung melompat memeluk ibu dari samping. Bahagia karena satu beban dibahuku terangkat sudah. Ibu ikut tersenyum dan membalas pelukanku.
"Makasih, bu. Ela janji bakal hati-hati."
Toh itu hanya pekerjaan mengasuh biasa. Dimana kejadian paling berbahaya adalah ketika si anak jatuh terluka. Atau diculik.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CHOSEN (TAMAT)
Terror(Sudah Terbit) (The Watty Awards 2019 Horror-Paranormal Winner) Stela Halim, gadis dengan emosi yang tidak biasa, harus melawan paranoidnya demi menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang Safir, sebuah kelompok persaudaraan kuno yang tampa...