Ayah sudah biasa berpergian ke luar kota semenjak ia belum menikah.
Perkerjaanlah yang memaksanya begitu. Ayah bahkan tak berada di samping ibu ketika aku lahir. Menggantikan posisinya saat itu adalah tante Najwa. Ayah baru bertemu denganku saat aku sudah berusia tujuh bulan. Dan selama kepergiannya itu ayah rajin mengirimi ibu surat.
Kebiasaan itu masih berlangsung hingga aku tumbuh besar. Sampai ia pergi ke luar kota nyaris satu tahun yang lalu, dan tak pernah kembali hingga saat ini. Tidak ada satu surat pun yang diantar ke rumah kami. Aku sempat berpikir mungkin saja surat dari ayah menyasar entah kemana. Tapi tak pernah terlintas dibenakku jika surat dari dirinya, surat terakhirnya, akan tersasar ke pak Hugo.
Ada banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalaku. Dan tak satupun di antara pertanyaan itu mampu kuungkapkan. Bibirku seolah terkunci rapat. Fakta bahwa pak Hugo belum mau memberiku penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana ia mendapatkan surat itu hanya membuatku semakin gelisah.
"Nanti," katanya sore tadi.
Aku baru bisa terlelap pada pukul dua dini hari. Dan terbangun dengan kepala pusing di bawah hangat sinar matahari bulan mei. Tidurku sama sekali tidak nyenyak. Pagi itu semua berlangsung dengan cepat dan tergesa. Ibu sampai heran melihatku yang berangkat ke sekolah lebih awal dari biasanya. Tentu saja aku tidak menceritakan soal surat itu. Toh aku belum mengerti apa yang dimaksud ayah dengan orang-orang safir. Apa keterkaitan mereka dengan menghilangnya ayah?
Selepas bel pulang berbunyi, aku bergegas menemui pak Hugo di lapangan sekolah. Dia sedang menggulung net voli, dibantu oleh beberapa cowok. Aku menunggu hingga mereka selesai. Untung saja cewek-cewek yang mendekati pak Hugo tidak begitu ramai. Wajah cowok itu terlihat acuh saat mereka mencoba mengajaknya berbicara. Begitu para cewek itu pergi, aku pun mengejarnya.
"Pak!" seruku setengah berlari. Kenapa sih langkah kakinya lebar sekali?
Pak Hugo menoleh, tapi ia tak menghentikan langkahnya. Sialan.
"Pak!" seruku sekali lagi.
Tampaknya ia sedang menulikan diri. Ingin rasanya kulempar sepatu tepat di kepalanya yang lagak itu. Aku berdecak jengkel.
"Hugo!"
Seakan ada yang menekan tombol pause, pak Hugo sontak menghentikan langkahnya. Kemudian ia berbalik dengan senyum manis yang mengerikan bagiku. "Ya? Ada apa?" tanyanya seakan baru melihatku.
Aku menahan desakan untuk memukulnya. Sepertinya aku akan mati muda karena serangan jantung jika terus-terusan berhubungan dengan makhluk ini. Seraya mengatur napas, aku mendekat ke arah pak Hugo. "Bapak belum jelasin soal surat itu sama saya."
Ia mendesah pelan. "Kan udah saya bilang nanti." Lalu, sambil melirik sekeliling dengan khawatir, ia menambahkan dengan suara yang lebih rendah, "yang akan kita bicarakan ini bukan orang-orang biasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CHOSEN (TAMAT)
Terror(Sudah Terbit) (The Watty Awards 2019 Horror-Paranormal Winner) Stela Halim, gadis dengan emosi yang tidak biasa, harus melawan paranoidnya demi menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang Safir, sebuah kelompok persaudaraan kuno yang tampa...