PERMULAAN

1.9K 314 19
                                    

Di malam yang muram dengan langit berpendar merah, seakan durasi senja sedang dipanjangkan di antara pekatnya awan mendung, tante Najwa memberi kami berita yang menggembirakan sekaligus membuat ibu tak tenang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di malam yang muram dengan langit berpendar merah, seakan durasi senja sedang dipanjangkan di antara pekatnya awan mendung, tante Najwa memberi kami berita yang menggembirakan sekaligus membuat ibu tak tenang.

Perihal operasi pengangkatan tumor rahim itu, tante Najwa mengaku dirinya sanggup menanggung semua biaya pengobatan ibu dengan satu syarat: operasi itu dilakukan di kota kediaman tante Najwa.

Kami berdua setuju, tentu saja. Tapi ini berarti ibu harus meninggalkanku hidup seorang diri di rumah. Aku yang tak begitu pandai memasak dan ceroboh. Aku yang pernah membuat dapur kami nyaris terbakar karena api dari kompor menyambar bungkusan mie yang kuletak sembarang. Hal itu membuat ibu gelisah sampai-sampai ia terus saja berbenah sejak sore tadi. Aku khawatir tekanan darahnya meninggi dan memengaruhinya saat operasi nanti.

"Gimana kalau ibu minta tolong sama bu Murti aja?" usul ibu saat ia melipat pakaiannya untuk diletak ke dalam koper, "pasti dia mau nemanin kamu selama ibu pergi."

"Gak perlu, Bu." Aku menggeleng lemah.

Bu Murti, wanita paruh baya bercucu empat yang memiliki mulut usil. Hobi nomor satunya adalah bergosip. Dan memutar balik fakta adalah hobinya yang kesekian. Apa jadinya kalau dia melihatku pulang malam setiap hari? Di antar oleh cowok pula.

"Terus kamu berani tinggal di rumah ini sendirian?"

Aku memejamkan mata, mengumpulkan keberanian yang masih tersisa di sudut-sudut resah. "Ibu tenang aja, rumah ini gak akan Ela hancurin, kok."

Ibu tahu-tahu tertawa. "Ibu tahu. Ibu cuma gak yakin kamu itu berani ditinggal sendiri."

Ucapannya sukses memancing perasaan sebal. Aku tidak ingin terlihat lemah di mata ibu, sekalipun faktanya memang begitu. "Ela berani, Bu. Lagian di sekitar rumah kita kan ada tetangga. Kalau ada apa-apa Ela tinggal teriak minta tolong."

Ibu menghela napas panjang, reaksi bahwa ia tak dapat memercayai ucapanku. Perasaan putus asa yang familiar berhamburan di benakku. Kualihkan pandangan ke foto kami bertiga, pada foto ayah, berharap beliau dapat memberiku ilham agar besok ibu bisa berangkat ke kota tante Najwa dengan tenang.

Di luar jendela, hujan jatuh rintik-rintik.

Ibu beranjak dari sisiku saat tetes pertama menghantam rerumputan. Udara pengap ditingkahi aroma petrichor menyusup dari celah-celah ventilasi. Aku mendekat ke jendela, menempelkan hidung pada kaca yang mulai berembun. Ribuan tetes hujan telah mengubah tanah perkarangan kami menjadi genangan lumpur dalam sekejap. Saat itulah, ketika cahaya kilat mendadak menerangi langit malam, tepat di bawah lampu jalan yang padam, sesosok pria dalam balutan jaket bertudung melambaikan tangannya ke arahku.

Jantungku membeku begitu pikiranku berkata dia adalah sosok yang sama yang melambai padaku saat di sekolah. Posturnya sama percis dengan kepala yang tersembunyi di balik kegelapan. Wajah pucat yang kulihat di rumah tante Lili kemarin kembali menghantui. Meskipun tak terlihat jelas, kurasa sosok itu sedang tersenyum. Dan ketika kilat berikutnya menyambar, sosok itu menghilang. Gemuruh guntur yang memecah angkasa menyentak kesadaranku kembali ke kamar ibu.

THE CHOSEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang