Hunjaman air sedingin es yang terasa menyengat kulit cukup mengalihkan pikiranku dari segala macam beban yang terus saja menumpuk setiap waktu. Sepertinya hidup belum puas dengan penderitaanku. Setiap kali aku ingin berhenti untuk menarik napas, ada saja halangan yang memaksaku untuk kembali berlari. Tiada hari tanpa lelah. Kutengadahkan wajah ke arah shower, membiarkan air menghujani kenyataan pahit itu untuk sejenak.
Selepas kepergian om Ian, tante Najwa tiba-tiba meneleponku. Ia memberi kabar soal kesehatan ibu yang kini sedang memburuk. Operasi pengangkatan tumor rahim itu harus ditunda. Dokter sedang mengusahakan yang terbaik, ucapnya singkat. Hanya Tuhan yang tahu betapa aku ingin sekali menangis. Dadaku sudah terlalu sesak hingga rasanya ingin meledak. Namun hasrat itu tersembunyi entah di mana, seolah menunggu waktu yang tepat untuk keluar. Pasti ada yang salah dengan diriku.
Samar-samar terdengar suara obrolan dari balik pintu.
Beberapa saat lalu aku meninggalkan Rey seorang diri di kamarku untuk mandi pagi. Kemudian pintu kurapatkan begitu saja tanpa dikunci. Toh selain kami berdua hanya ada Aiden di dalam rumah ini. Mengingat sikapnya yang selalu sensi terhadapku, sepertinya mustahil ia mau menyelonong ke kamar ini. Aku mematikan keran, lantas mendekati pintu dengan langkah pelan tanpa suara, berhati-hati untuk tak terpeleset.
Kutempelkan telinga kananku pada pintu untuk mendengar lebih jelas. Rey sedang tertawa.
"Main petak umpet? Ayo!" bocah itu terdengar begitu semangat.
Masa sih Aiden yang mengajaknya bermain? Buru-buru kuraih handuk dan langsung melingkarinya di sekeliling dada tanpa perlu mengeringkan tubuh dan rambut terlebih dahulu. Setelahnya, aku melongokkan kepala di antara celah pintu, menyembunyikan sebagian tubuhku dari siapa saja yang tak pantas melihatnya.
Sejumlah mainan milik Rey tergeletak di atas ranjang kosongku. Seprainya tampak lebih kusut dari sebelumnya tapi Rey tidak terlihat di mana pun. Pintu kamarku setengah terbuka.
"Rey?" panggilku serak.
Tidak ada jawaban selama beberapa detik. Senyap. Aku bisa mendengar suara air yang menetes-netes dari ujung rambutku ke atas lantai. Lalu mendadak suara Rey terkikik geli di luar sana. Kuputuskan untuk berpakaian sebelum bergegas menyusulnya dengan perasaan jengkel. Aku sudah memberi Rey ultimatum untuk tidak keluar dari kamar ini sebelum aku selesai mandi. Kalau sampai sesuatu yang tak diinginkan terjadi padanya, maka siapa yang akan bertanggung jawab? AKU.
Saat aku menuruni anak tangga, sosok Rey melintas di bawah sana bagai kelebatan bayangan. Kupercepat langkah, berharap bisa langsung menangkap tubuhnya lalu memberi bocah itu khotbah yang baru.
"Rey, mainnya jangan lari-lari gitu, hei!" teriakanku seketika menguap di udara. Rey tak mengindahkannya sama sekali. Ia terus saja berlari dan tergesa-gesa berbelok ke area taman samping, seolah sedang dikejar sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CHOSEN (TAMAT)
Horor(Sudah Terbit) (The Watty Awards 2019 Horror-Paranormal Winner) Stela Halim, gadis dengan emosi yang tidak biasa, harus melawan paranoidnya demi menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang Safir, sebuah kelompok persaudaraan kuno yang tampa...