TEROR

1.9K 286 1
                                    

Ia setinggi angan yang mengangkasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ia setinggi angan yang mengangkasa.

Hadirnya melampaui batas ketakutanku. Dalam alunan merdu bak simfoni menuju akhir, ia merinai, berselimutkan jubah hitam yang mengalahkan gelapnya malam. Darah yang mengering pada kelir putihnya menyiratkan satu hal: ialah sang pelebaya.

Ia begitu mengintimidasi.

"Dan dia jelas psikopat," ucapku pada Hugo dengan perut yang terasa melilit. Mengenangnya kembali ternyata bukanlah suatu yang mudah. Terlebih ketika ia membunuh orang-orang malang itu tepat di depan mataku. Hanya berbekal tangan kosong. Jemarinya yang seolah setajam pisau itu mampu mengoyak tubuh pria dewasa hingga isinya berhamburan keluar. Aku benar-benar ingin muntah.

Hugo mendengarkan ceritaku tanpa menyela. Ia membiarkanku bercerita tanpa melemparkan pertanyaan ataupun sekedar bergumam. Cowok itu hanya duduk diam sembari memperhatikan wajahku dengan rautnya yang serius. Anehnya aku tak merasa terganggu.

"Sekarang kata-kata ayah kamu di surat itu jadi masuk akal." Hugo berbicara pada udara. Pandangannya menerawang ke langit-langit yang di cat putih gading. "Kalau memang dia selalu mengawasi kamu, berarti besar kemungkinannya dia adalah anggota orang-orang safir."

Tenggorokanku tercekat. Jadi kelompok persaudaraan kuno itu belum lenyap. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi suaraku sedang terjepit entah dimana.

"Saya gak tahu apa yang diinginkan mereka sama keluarga kamu," mata Hugo beralih kembali padaku, "tapi yang jelas, kamu harus segera menemukan para pengawas seperti yang ayah kamu bilang."

Aku tak tahan untuk tak mendengus. Menemukan para pengawas itu sama saja mencari belalang di antara akar yang merumpun. Sulit. Dan mungkin saja akan berakhir sia-sia. Ayah tidak meninggalkan satu pun petunjuk yang berkaitan dengan ciri-ciri mereka, atau di mana para pengawas itu berada. Bagaimana bisa aku yang buta arah ini menemukannya?

"Stela?" suara Hugo memanggil.

Aku menaikkan kedua alis sebagai respons.

"Kamu ingat gak, pustakawan yang pernah saya tanyai soal orang-orang safir beberapa waktu lalu?" Hugo nyaris tersenyum saat ia menanyakan hal ini, "mungkin kita bisa tanya dia sekali lagi."

Aku mengernyitkan dahi. "Bukannya lo bilang dia gak tahu banyak?"

"Benar," Hugo mengangguk, "tapi gimana kalau itu ternyata cuma alibi dia?"

"Maksud lo, bapak itu pura-pura gak tahu, gitu?"

Hugo mengangguk lagi. "Seperti yang dia bilang, orang-orang safir itu tahu kalau mereka dibicarakan, mungkin aja bapak itu cuma gak mau melibatkan diri terlalu jauh."

"Masuk akal, sih," ujarku dengan nada melamun.

Meski kelompok persaudaraan itu telah dinyatakan lenyap dalam waktu yang lama, bisa saja sebenarnya mereka hanya sedang bersembunyi. Merencanakan entah apa yang sialnya melibatkan ayah dan juga aku. Bapak pustakawan itu pasti mengetahui sesuatu. Hanya saja demi keselamatannya sendiri ia memilih untuk bungkam. Jika dia tahu tentang orang-orang safir, harusnya dia juga tahu tentang para pengawas. Kurasakan secercah harapan terbit di benakku.

THE CHOSEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang