Langkah 10

36 2 0
                                    

"So, what next?" Irfan tersenyum acuh. Kalau saja dia hobby menyanyikan lagu rock, bad boy adalah julukan yang amat sempurna untuknya. Sungguh, ekspektasi tak sesuai harapan.

Aku tersenyum agak lucu kali ini. Hati kepala dan mataku tidak ada yang sejalan jika berhadapan dengan sahabatku ini. "What do you want?"

"Jam berapa ke rumah om Aditya?" tanyanya lagi sambil membalas komentar-komentar penikmat suara beratnya di You tube

"Do you had made appointment?"

Irfan memutar punggungnya. "No!" jawabnya mantap. "Tinggal datang aja susah amat. Pakai appointment segala lagi." Kemudian ia tertawa pelan.

Aku pun ikut tertawa walau tidak ikhlas. Dan kurasa Irfan memang benar.

*

Setelah bel pagar dipencet oleh Irfan, siluet berambut sebahu dikucir ekor kuda menghambur tepat di belakang pintu. Sedikit mengintip keluar dan lalu tersenyum sempurna setelah menyaksikan wajah yang ia kenal. "Kak, Irfan!" katanya buru-buru membuka pengait gembok pintu pagar.

Irfan pun tersenyum puas! Terlihat ada kedekatan tertentu antara gadis itu dan Irfan. "Isma, ada, Om?"

Gadis itu mengangguk. "Iya ada," jawabnya kemudian, "ayo langsung masuk aja, Kak! Kebetulan Bapak ada di ruang tengah."

Isma berjalan lebih cepat di depan kami. Setengah berlari lebih tepatnya, untuk menggapai pintu utama.

"Dia masih, SMP, Riang!"

Aku menoleh ke arah suara tersebut. Pandangan kami menantang satu sama lain. Tiba-tiba aku merasa diintimidasi.

"Aku pikir setelah keluar dari English Home, kamu tidak hanya pandai menggunakan grammar, banyak menguasai vocabulari, tapi otakmu sekarang perlahan menjadi suka melirik perempuan. Ah, ya, apakah itu ada kaitannya dengan bu Arinda? Kamu sepertinya memasuki tahap level 'yang penting ada' setelah suka sama bu Arinda." Irfan lalu tertawa keras di sampingku.

Menghinaku lebih tepatnya.

"What the...." Giigiku menggerutu.

"What the fuck!, right?" Irfan kembali tergelak. "Kepalamu sebenarnya yang Fuck, Riang!"

Aku geram dengan dua alasan. Satu, aku memang merasa ada gejala-gejala hormonal yang berbeda dengan diriku; kedua aku sama sekali tak bermaksud membuntuti sepupuya itu.

*

Di ruang tengah, kami disambut oleh lelaki yang sering kami sanjung-sanjung kesuksesannya.

Perawakan yang cukup santai. Celana pendek yang dipadukan dengan kaus oblong yang menutupi badan tuanya. Ia terlihat lebih mudah dua puluh tahun dari usianya yang sekarang. Menurutku, sih.

"Irfan dan ... si...."

"Riang, Om," sambung Irfan segan.

"Ada apa gerangan sehingga kalian berani kembali?" tanyanya sambil mengulurkan tangannya mempersilakan kami untuk duduk. "Kalian sudah belajar bahasa Inggris? Atau sudah mundur, dan mau jadi petani? Atau peternak, mungkin? Aku bisa memberikan induk sapi, loh." Lelaki itu kemudian tertawa pelan.

Kalimat itu, walau diucapkna dengan santai, tetap saja nadanya mampu mengetarkan jiwaku. Tegang kembali menggerogoti badanku, persis ketika pertama kali datang di rumah ini.

"Riang, santailah!" kata om Aditya. "Saya memang suka bercanda. Kau terlihat seperti, orang ketakutan." Sekali lagi Pelaut Sukses itu menyentak kepalaku.

Dan itu benar.

Apakah dia memang punya keahlian membaca pikiran orang lain?

"Ah, Om... maaf..." jawabku kelabakan.

RATINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang