Langkah 3

73 3 0
                                    

"Kalau kalian mau jadi pelaut, kalian harus bisa bahasa Inggris."

Kalimat yang terlintas begitu enteng dari bibir menonjol sedikit ke depan itu, yang di mana bertengger kumis tebal bersambung dengan cambang. Ya, dia mirip dengan panggilan akrab "Tuan Takur" yang ada di filem holly wood. Dengan penampakan bulu, sekitar lima puluh persen tersisa warna hitam. Selebihnya, condong antara kecoklatan dan putih. Dari kumis dan rambut cukup menggambarkan bahwa, peria paruh baya itu tak lama lagi akan menemui panggilan dari Yang Maha pencipta.

Melihat penampilan laki-laki itu saja, telah berhasil meyakinkanku bahwa, dia memang pantas untuk menjadi pemilik rumah luas dan bertingkat ini.

Sepertinya, kesuksesan yang diceritakan Irfan waktu itu, benar adanya. Bola mataku dari tadi mengitari seisi ruangan, cukup memberi bukti bahwa dia adalah mantan pelaut sukses.

Di lemari itu, misalnya, terdapat beberapa furniture kapal-kapal pesiar. Tampak sekali kalau orang tua ini gemar mengoleksi benda-benda mewah yang didapatinya di perantauan, selama berlayar.

"Tapi, Om, kami sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris." Akhirnya Irfan, berani memberikan pernyataan. Entah angin apa yang membuat anak itu, tampak sedikit lebih berani. Ada kemungkinan dia mencoba memperlihatkan kedekatannya dengan Om pelaut sukses itu. Namun, sayangnya pelaut sukses tersebut tampak begitu menakutkan, sehingga membuat aku baik Irfan merasakan ketegangan yang luar biasa.

"Ya sudah, jadi petani atau peternak saja." Ucapan yang mengalun layaknya udara yang memenuhi ruangan pengap. Tidakkah dia sadar jika bahasa Inggris adalah bahasa yang amat sulit bagi kami untuk dimengerti? Tak lama kemudian Om pelaut sukses kembali melanjutkan, "Tidak ada yang tidak bisa, asal kalian mau belajar."

Seingatku, baru sekali tadi aku mengeluarkan suara, itu pun karena Irfan yang menyrotiku. "Ayo Riang, bertanyalah!" kata Irfan saat memberikan signal, di awal pertemuan ini terjadi.

Sehingga dengan segenap puluh yang menggerogoti, tegang yang mengimpit, berhasil kukalahkan dan terciptalah pernyataan ini, "Om, kami ke sini untuk bertanya-tanya, tentang pelaut."

Andaikan Irfan tidak memaksa, barangkali sampai saat ini, aku masih bisu layaknya manusia yang tidak dianugrahkan suara. Entah mengapa, sejak pertama kali aku melihat orang ini, bulu kudukku spontan siap siaga hingga kaku. 

Ada kemungkinan, karisma yang dimilikinya begitu hebat, dan berhasil menciptakan kekuatan untuk manaklukkan nyali setiap orang yang berhadapan dengannya. Jangankan aku, Irfan saja yang menyandang gelar sebagai keponakan, tetap saja sungkan berinteraksi dengannya.

Sebelum berangkat tadi, Irfan sempat menceritakan sedikit perihal dari orang yang sedan kami hadapi ini. "Riang, Om-ku itu orangnya, galak, dan menakutkan." 

Sambil tersenyum Irfan mengatakan. Mana mungkin aku percaya. Aku pikir, Irfan hanya menakut-nakutiku. Tapi, setelah berada di tempat ini, aku  bersaksi bahwa, orang ini sangat tepat jika diperankan sebagai pembunuh bayaran dalam filem-filem action.

"Bahasa Inggris bukanlah bahasa yang susah dipahami, asalkan kalian mau belajar." Begitu senangnya Orang tua itu menyerukan ocehan. Aku ini bukannya tidak pernah, belajar bahasa Inggris. Bahkan, sejak SMP, tapi sampai lulus SMA, masih belum bisa. Dan, kau tahu pasti, Irfan juga demikian. Bahkan begitu sering aku tertidur di kelas ketika pelajaran bahasa Inggris berlangsung.

"Om," kataku lalu sedikit menelan ludah, "Emang tidak bisa kalau misalnya tidak usah mahir bahasa Inggris?" Meski sedikit gemetar, tapi aku berusaha melafalkan dengan segenap ketenangan.

"Tidak, bisa!" tindas pelaut sukses itu, "kalau kamu tidak mau belajar bahasa Inggris, lebih baik tidak usah jadi pelaut. Percuma saja kau menghabiskan duit orang tuamu untuk sekolah pelaut jika tidak ada bahasa. Mau, jadi pelaut seperti kacung kompeni? Istri ditingal, anak ditinggal, kebahagiaan ditinggal, dan bayaran tidak cukup untuk menutupi kehidupan mereka di rumah."

Buset! Orang ini, ngomong bak dewa saja. Tapi, kok masuk akal juga, ya? Gambarannya barusan, persis dengan yang melanda pelaut di tempatku.

"Jadi solusinya gimana, Om?" kali ini Irfan yang memberanikan diri untuk bertanya.

"Itu aja, kamu belajar bahasa Inggris dulu," jawab Om pelaut sukses itu, "Setelah kamu sukses menguasai bahasa Inggris, datang lagi kemari, langkah selanjutnya akan Om beritahu setelah kalian bisa berbahasa Inggris dengan fasih."

"Om, jadi kami perlu kursus dulu?" Balik lagi Irfan menerobos.

"Saya tidak perlu tahu, kalian mau dapat dari mana bahasa Inggris. Yang jelasnya, kalian harus bisa berbahasa Inggris terlebih dahulu, baru melangkah ke tahap selanjutnya."

"Baik Om!" 

Kalimat tersebut terucap berbarengan antara aku dan Irfan. Bukan ada unsur kesengajaan sehingga satu kalimat kami ucapkan bersamaan. Mungkin ini efek dari karisma orang sukses yang hendak kami jadikan sebagai panutan. 

To be continue in the next day ...

Guys, thank you so much, cause you was reading my work. Don't forget to support me by give a vote. If you have an advice for me pleas write down in comment.

Thank you so much.  

RATINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang