Langkah 18

22 1 0
                                    

"Irfan, makan siangnya ada di meja ya, Sayang! Jangan lupa makan! Mama mau ke pengantin!" Suara tante Riani setengah berteriak dari arah dapur, terdengar tergesa dan sangat sibuk.

"Mah, mau Irfan antar!?"

"Tidak usah, mama pakai motor kamu aja! Bisa, kan!?" Tante Riani lalu muncul di depa pintu dengan penampilan perempuan muslimah yang anggun. Kalau dilihat dari penampilannya, beliau seharusnya mengakhiri masa jandanya. Masih, kelihatan mudah juga. "Riang jangan lupa makan ya, Nak!" Adan senyum sekilas. "Fan, kunci motor, Sayang!"

"Iya, Tante," balasku sambil tersenyum. Aneh, pikiranku malah merasa kasihan kepada perempuan itu. Andaikan saja ada lelaki yang mendekatinya nanti, aku adalah orang pertama yang mendukung hubungannya. Kalau misalnya Irfan protes, aku siap menasehatinya. Kalau perlu menghajarnya.

Ada rasa tawa di hatiku seketika. Eh, kok aku malah berpikiran aneh, begini? Salah enggak, sih?

"Kunci motorku masih di motor, kayaknya, Mah."

"Oh, ok," ucap Riani, "kamu tidak ke mana-mana, kan!?" Perempuan itu berlalu pergi dari hadapan kami.

"Mau ke rumah, om Aditya aja, Mah," jawab Irfan dengan nada sedikit lebih keras, "tapi kan, ada motornya Riang!"

"Ok, jangan lupa tutup pintu kalau keluar rumah ya, Sayang." Ucapan tante Riani terdengar samar yang diikuti decit pintu yang tertutup.

Irfan duduk di pinggir kasur dan meraih remote TV sambil menekan tombol power. "Eh, Riang, kapan mau ke rumah om Aditya?"

"Malam saja," jawabku sambil memilih alasan apa yang tepat untuk kuberikan agar Irfan tidak protes. "Panas!"

Untungnya kalimat itu tidak dicurigai oleh Irfan. Bayangkan, kenapa harus malam? Bukankah om Aditya selalu stand by 24 jam di rumah? Paling, dia mengurus ternaknya ayamnya di belakang rumah.

Ya, ada sesuatu yang kusembunyikan dari Irfan. Isma. Irfan tidak boleh tahu perasaan ini. Walau sebenarnya dia pernah curiga. Dan aku yakin, siang begini, Isma masih di sekolah. Dan artinya, aku tidak bisa melihat gadis kecil itu jika kami berangkat sekarang.

*

Dan kenyataan selalu saja berbalik arah. Apa yang kurencanakan sejak semalam—saat pulang dari Makassar—berujung pahit. Isma tidak muncul-muncul juga dari tadi. Hanya Bibi yang menyuguhkan minuman hangat.

Hei, ada apa denganku? Kenapa aku sangat merindukan gadis kecil itu? Sementara dia sama sekali tidak tahu mengenai hal ini. Mengenai diriku.

Baiklah, sepertinya memang tidak untuk hari ini. Aku pasrah. Ah, bukan pasrah sebenarnya. Menggerutu dalam hati lebih tepatnya.

"Bagaimana?" ucap om Aditya sebelum meraih cangkir teh-nya. "Sertifikat kalian sudah kelar?" lanjutnya setelah selesai menenggak teh itu seteguk. "Eh, ayo minum!"

Aku pikir orang tua itu tidak lagi menyuruh kami untuk minum. Ganjil benar, biasanya tamulah yang lebih dulu dipersilakan untuk minum, tapi ini malah dia yang kelihatan sangat haus.

Eh, memang ada aturan seperti itu, ya? Terserah tuang rumah, bukan?

"Iya, Om," jawab Irfan, "hanya sertifikat rating-nya yang belum keluar." Ada jeda sejenak. "Kami harus praktek dua bulan terlebih dahulu."

Sambil mengingat pertemuan terakhir kami dengan pak Mahendra di aula, aku menambahkan, "Katanya setelah praktek, akan ada ujian lagi, Om."

Om Aditya mengangguk beberapa kali. "Oh, iya, memang begitu seharusnya." Hening beberapa saat. "Eh, teh-nya diminum!"

"Iya, Om." Irfan lalu menenggak teh itu.

Aku pun demikian. Lumayan, bisa menghilangkan dahaga. Sebenarnya dahaga di tenggorokan ini tidaklah terlalu penting. Dahaga rindu terhadap Isma-lah yang amat penting saat ini.

RATINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang