"Riang, bisa bicara sebentar?"
"Lah, kan udah bicara, gimana, sih?"
Irfan tergelak. Aku sudah tidak heran, karena memang sudah menjadi kebiasaan anak itu kalau menelepon, tidak ada intro sama sekali. Ucapin salam dulu kek, apa kek? Hal semacam itu semua dilupakan. Begitu pun kalau dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan, langsung cabut. Sudah.
"Riang, gimana? Kamu udah minta izin untuk jadi pelaut? Udah bilang ke mama kamu, kan? Riang, jangan bilang kalau kamu masih belum ngomong?"
Aku tertawa sebentar. Aku jadi heran, sebenarnya anak itu perhatian atau gimana, sih? Kok rasanya kaya mau stres dihujani rentetan pertanyaan seperti itu?
Centil?
He, kayaknya Centil Boy julukan terbaru yang layak buat dia.
"Emang kenapa?" tanyaku lalu tertawa. Keras sekali. Aku tidak habis pikir, masa si Centil Boy, sih?
"Eh, malah balik nanya, lagi?"
Alih-alih menjawab, aku malah tertawa bertubi-tubi. Kalau saja ada orang yang bisa kumintai nasehat? Pertanyaan mana yang bisa aku jawab coba?
Dasar Centil Boy!?
"Riang, you fucking bitch!!! Tell me, tell me, right now!"
"Udah, Fan!" jawabku sambil menelan tawa. "Tidak usah kaya emak-emak di sana!"
"Dan?"
"And the result is... she agreed."
Sumpah.
Sepertinya Irfan di ujung sana lompat-lompat. Aku malah jadi geli bayanginnya. Hari ini, aku mantapkan kalau Irfan benar-benar tidak layak masuk dalam kategori Bad Boy. Betul-betul tidak pantas!
Pantasnya Centil Boy. Paten sudah.
"Santai aja kali, Fan!" Nada suaraku jelas dan jijik dan lalu kembali tertawa. Ini bukan percakapanku dengan Irfan yang lucu, melainkan dialog pikiranku. Membayangkan muka beringas itu kupanggil si Centil Boy. "Masa segitunya, teriak-teriak. Kupinku sakit ini!"
"Ok, Riang. Fine!" Irfan kemudian terdiam. Kayaknya si Centil Boy itu sedang menarik napas. "Kata om Aditya, pendaftaran untuk pengambilan sertifikat pelaut akan terbuka hari senin, alias beeesok." Nada suaranya melayang berbentuk nada seriosa pas mengucapkan: beeesok. "Dan kita harus buru-buru, Riang!"
Aku lagi-lagi tertawa. Sumpah. Lucu. "Dan?"
"Dan, om Aditya mau dan bersedia membantu kita untuk ke tempat lembaga diklat pengambilan sertifikat pelaut itu," jawab Irfan. "Riang besok, BESOK, Riang!"
"Maksud kamu, besok?" Sambil mikir. "Jadi, aku harus ke rumahmu lagi ini sore?"
"Of course, baybe! Bisa, kan?"
Idih, geli! Sebenarnya memang kayak gini dari dulu kalau Irfan kelewat senang. Suka ngelampaui batas normal. Tapi, rasanya, lam-lama jadi garing juga, sih. Apalagi kalau ngomong, kayak melambai begitu. Jadi ngeri tidur seranjang. Eh, kok malah aku yang pikirannya jadi kotor, gini?
Tidak! teriakku dalam hati. "Oke...." kataku kemudian.
"Woi! Kok jawabanmu malah lemes gitu!?" Sekali lagi anak itu berteriak. Dan jika diulangi lagi langsung kuputus sambungan ini.
"Teriak aja terus di seberang sana!"
"Pokoknya, bentar sore kamu ke sini! Om Aditya janji akan mengantar kita pagi-pagi sekali. You and I don't have nay chosen. You, know?"
"Oke, deh." Nyerah aku. Asli, Irfan kayanya mulai jadi semakin aneh. Biasanya tidak segitu amat kalau dia senang begini.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
RATING
Science FictionSebelum mengambil keputusan untuk menjadi seorang pelaut, harusnya kamu tahu bagaimana jalannya. Jangan jadi pelaut hanya karena ikut-ikutan! Jangan jadi pelaut hanya karena katanya, gaji pelaut itu besar. Kesuksesan mereka memang bagus untuk dijadi...