Langkah 13

31 1 0
                                    

Apakah pelaut sukses itu semuanya memiliki rumah se-elit ini? Pertanyaan pertama yang bergerilya di benakku saat turun dari mobil. Cahaya redup namun klasik menambah keistimewaan bangunan di depanku. Dan, apakah memang benar gaji pelaut itu, banyak? Atau dengan itukah, Irfan bersikeras mau menjadi pelaut?

Dari pintu gerbang muncul lelaki seumuran dengan om Aditya. Dengan senyum terkembang seraya berkata, "Eh, ayo masuk, Kanda!"

Kanda?

Oh jadi dia lebih mudah dari om Aditya?

Ya dari parasnya memang terlihat, usia mereka terpaut tidak jauh beda. Hanya saja om Aditya memiliki wajah sangar, dan om satu ini tampak lebih lembut; baik dari raut wajah maupun penuturannya.

Wow, mereka berjabat tangan masih seperti anak gaul? Keren-keren.

"Eh, ini ponakan ya, Kanda?" tanya lelaki itu.

"Bukan, itu Riang namanya, yang sebelahnya baru ponakan, namanya Irfan." Om Aditya lalu meregangkan otot-ototnya.

Iya, aku bukan ponakannya, Om. Calon menantu, lebih tepatnya. Pengen aku jitak kepalaku sendiri.

"Oh, maaf. Nak Riang," katanya sambil mengulurkan tangan, "saya Ardi. Kamu pasti sudah tahu namaku dari kanda Aditya, kan? Tapi, kan tidak ada salahnya kita berkenalan. Ada pepatah mengatakan: tak kenal maka tak sayang!" Lelaki itu lalu tergelak.

Aku pun ikut tertawa tenang.

Om Ardi lalu berjabat tangan dengan Irfan. "Eh, ini masih ada bulu mata Riani. Apa kabar ibundamu di rumah, Nak?"

"Baik, Om." Irfan tersenyum. Hem, anak itu masih tampak lembut dan berwibawa. Biasalah Irfan, orang yang pandai mengubah dirinya seperti bunglon. Tapi lihatlah stelahnya. Si Centil Boy itu pasti akan menunjukkan sikap anehnya.

"Eh, ayo masuk!" ajak om Ardi

Kami semua mengikuti tuan rumah.

Di pintu utama, muncul ibu setengah baya. Cahaya lampu yang klasik tetap saja memperjelas wajah wanita itu. Menyejukkan, dengan sifat keibuan yang amat kuat. Sudah bisa kupastikan bahwa itu adalah istri om Ardi. "Masukki, Kak!" ajaknya sambil tersenyum ke om Aditya. 

Cocok enggak sih, kalau perempuan berumur memanggil kakak? Yaa, dan itu, logat makassarnya kental banget, loh. Sebagai penduduk bugis Bone, tentu logat makassar akan terdengar agak lain di telingaku.

[Tambahan "ki" pada kata masuk bermakna anjakan dalam logat makassar. Contoh lain: makanki. minumki, artinya ayo minum]

Irfan masih sibuk membuka sepatu boot-nya ketika aku dan perempuan itu bersalam. Maklum, sepatu boot itu pengikatnya entah berapa kali lilitan. Tentu akan sulit dibuka-lepas.

Aku sedang tidak salah lihat, kan? Kok anak lelaki yang sedang bersalaman dan mencium tangan om Aditya itu seperti teman ...? Aku belum berani mengatakan kalau memang dia. Kalau dai benar-benar orang yang sama, berarti ...?

Sebenarnya aku ragu-ragu, tapi setelah kuperhatikan kembali, dan pandangan kami saling menantang kali ini. Dia pun mengenaliku sebanyak aku mengenalnya.

Bersamaan senyum kami terbit dan lalu berjabat tangan, antusias. Tidak ada suara menyeka keheningan. Sepertinya pertemuan tak terduga ini menyita semua kalimat di kepalaku.

Irfan yang buru-buru masuk, dan langsung berteriak histeris, "Lutfi!?"

Mulai sudah si Centil Boy. Mana mungkin dia bisa menahan diri kalau situasinya kayak gini.

Semua berbalik menatap Irfan kali ini. Sukses. Irfan berhasil mengalihkan perhatian seisi ruangan.

"Kalian sudah saling kenal?" tanya perempuan itu, "loh, gima bisa, kan kalian bertemu saat masih kecil?" Pandangannya berekspresi tidak percaya. "Aku saja tidak bisa mengenali Irfan?"

RATINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang