Ragu,
Bimbang,
Memilih untuk menyerah,
Atau kah bertahan,
Namun menyakitkan?===
"...Sebelum terlambat" ucap Ilham lirih sehingga Ajeng tak dapat mendengar perkataannya itu
"D-demi apa Ham? Dan kenapa lu baru bilang sekarang?"
"Entahlah. Gue cuma berpikir, gue harus bicara selagi sempat. Siapa tau nanti gue nggak akan punya kesempatan untuk bicara lagi," kata Ilham, nadanya terdengar santai, tapi Ajeng bisa merasakan kekhawatiran di dalam suaranya.
"Jangan ngomong kek gitu, Ham. Lo buat gue takut," ujar Ajeng pelan. Alih-alih menenangkan Ajeng, pria itu malah tertawa pelan.
"Nggak usah anggep serius omongan gue, yang penting sekarang lo udah tahu kalau gue suka sama lo sejak kecil dulu," Ilham memamerkan deretan gigi putihnya.
"T-tapi.. waktu itu lo bilang-" ucap Ajeng terpotong.
"Lo tau kan? Pacaran itu nggak baik..," Ilham menjeda kalimatnya sejenak.
"Dan gue nggak mau bawa lo ke dalam hal buruk. Lagian suka juga nggak harus memiliki, kan?"
Ajeng hanya terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa.
"Gue lebih senang kalau status kita ini cuma sebatas sahabat," Kata Ilham lagi.
"Kenapa?" Tanya Ajeng heran.
"Karena gue ga perlu menanggung cemburu saat lo bersama orang lain.. sebaliknya juga lo ngga perlu cemburu ke gue, Jeng."
Ajeng terkesiap mendengar perkataan Ilham. Ia malu. Sebagai perempuan, ia harusnya lebih paham akan hal seperti ini.
"Oh iya, dua hari lagi lo udah boleh pulang ke rumah kan?" Tanya pria itu yang kemudian dijawab anggukan oleh Ajeng.
"Sebenernya gue senang semenjak lo dirawat di sini.. karena akhirnya gue ga bakal ngerasa sendirian. Tapi ternyata itu cuma sementara, setelah lo pulang gue jadi sendirian lagi di sini."
"Ham... Gue janji, gue bakalan ke sini tiap habis pulang sekolah," ujar Ajeng sambil menyunggingkan senyumnya.
"Hm, janji nih?"
"Iyaa janji!"
Setelah lama berbincang-bincang, Ilham kemudian mengeluarkan ponsel dari sakunya. Melihat angka waktu di layar ponsel menunjukkan bahwa matahari akan segera terbenam, Ilham cepat-cepat berdiri dan hendak pergi dari tempat itu.
"Jeng, balik yok, dah mau malem nih"
Ajeng hanya mengangguk menuruti perkataan sahabatnya yang mendadak buru-buru balik ke kamar itu.
Di lain sisi, Ilham terus mengucapkan istighfar dalam batin. Pasalnya, kak Tammy telah pulang dari sekolah sedari tadi. ia pasti akan kena marah karena tertangkap basah kabur dari kamar, dan kakak sepupunya itu tak akan segan memanggil dokter Rafi untuk membiusnya.
"Huft, semoga aja dia belum sampe" ucap Ilham dalam batinnya.
***
Kriet-
"Dari mana aja lo?!" Teriak Tammy yang tiba-tiba muncul saat Ilham tengah membuka pintu.
"D-dari.."
"Balik ke ranjang lo! Itu infus harus dipasang lagi ham!"
"Tapi Ilham udah gapapa kak! Beneran! Ilham ga bohong!"
"Balik, atau kakak panggil om Rafi?"
Mendengar ancaman kakaknya itu, tanpa menjawab apapun Ilham melangkah malas lalu berbaring meringkuk di atas ranjang. Sedangkan Ajeng yang masih berdiri di depan pintu, membuat Tammy baru saja tersadar akan kehadirannya.
"E-eh ada Ajeng, keluar yuk, kakak mau ngomong sebentar."
***
"Iya, memang dokter bilang keadaan dia terus membaik. Tapi bukan berarti Ilham bisa keluar bebas seenaknya. Dia harus tetap dirawat. Karena dokter sudah memvonis sisa hidupnya- tinggal menghitung hari aja."
Ajeng menggelengkan kepalanya tak percaya. Namun saat melihat isakan Tammy yg terlihat sungguh-sungguh itu, ikut membuatnya benar-benar putus harapan.
"Plis, Jeng. Kakak minta tolong, karena cuma lo yang bisa bujuk Ilham-"
"Disaat akhir hidup seseorang... seharusnya dia bisa buat hal yang menyenangkan, bukan? Dia bisa buat apa aja yang pengen dia buat- sementara gue harus terkunci di sini."
"Rasanya lelah, ini menyakitkan"
"Plis Jeng, gue tau kalau hidup gue gabakal lama lagi. Jadi biarkan gue bahagia disaat-saat terakhir. Jangan kekang gue seperti mereka semua."
Degh
Tiba-tiba Ajeng teringat akan permohonan Ilham sebelumnya. Mengingat seberapa tulus tatapan sahabatnya saat itu, Ajeng bimbang. Jadi, sekarang siapa yang harus ia turuti?
KAMU SEDANG MEMBACA
Just a Fella (Alsand) [COMPLETE]
Novela JuvenilMaaf, aku telah gagal menjadi sahabatmu. Karena sungguh, rasa kagum ini melebihi dari yang seharusnya. Kembalilah sebagai teman, lupakan bahwa dulu kau tahu aku menyukaimu.