Bagian 17

9.1K 463 15
                                    

Matahari sudah cukup tinggi saat Andre bersama Mama, Ais dan Arkan saat Acha menunjukkan belokan jalan yang mengarah ke makam papa.

Andre sempat terdiam lama saat tangannya memegang tanah merah makam yang masih basah oleh gerimis pagi tadi setelah mengelus nisan papanya dengan sayang.
Disinilah kelak dia juga akan kembali, karena kematian adalah sebaik baik pengingat bahwa kita bukan penduduk dunia, kita penduduk surga dan disanalah kita pasti kembali.

Dunia hanya sebuah fase yang harus kita lewati dan berapa arogannya ia jika tidak memaafkan kesalahan papanya karena Allah saja memaafkan dosa yang kita buat juga kita meminta maaf.

Dalam perjalanan menuju pondok pesantren tempat Acha menuntut ilmu, Andre lebih banyak diam dan sesekali memandang wajah adiknya yang tertidur.
Karena hari ini mereka membawa sopir sehingga Andre dapat mencurahkan perhatian penuh untuk adik yang baru saja dimilikinya.
Acha tipikal gadis yang sangat detail bahkan tadi malam meminta agar Andre membawa salinan akta lahirnya untuk dibawa ke pondok.
Meski pada awalnya sempat heran dengan permintaan adiknya itu, keheranan dalam benak Andre terjawab saat mengantarkan dan menemui musrifah Acha yang berkeras menanyakan identitas yang menunjukan bahwa Andre benar benar mahram Acha.
Meskipun wajah mereka mirip dan mereka datang beramai ramai komplit dengan keluarga besar,pihak pondok pesantren tetap menanyakan dokumen legal yang mendukung, dan melihat akta kelahiran Andre yang menunjukkan nama ayah yang sama dengan Acha membuktikan hal tersebut.
Pihak pondok menanyakan dokumen tersebut karena meskipun Acha sudah hampir 6 tahun berada disana dan pak Rahmat adalah salah satu donatur tetap dipondok itu, namun selama ini Acha dikenal sebagai anak tunggal yang jarang sekali mendapat kunjungan kerabat, pada saat berpamitanlah saat yang mengharukan karena Acha bersikeras memeluk mama barunya, keponakan barunya dan kakak ipar barunya.
Andre menerima pelukan sayang dari adiknya meski sempat menyodorkan tangan untuk bersalaman namun Acha memilih memeluk kakaknya yang kaku itu dengan diikuti kedipan mata jenaka dari arkan yang ada digendongan ibunya.
Meski rencana awal Andre ingin menyelesaikan urusan dengan pengacara sekalian hari itu namun sepertinya waktu berjalan terlalu cepat, setelah menunaikan sholat dhuhur di pondok pesantren Acha, rombongan itu sudah mulai terkantuk kantuk selesai makan siang, dan akhirnya janji dengan pengacara papa Andre ditunda hingga esok hari.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 22 saat Andre memasuki kamarnya dan melihat Ais tengah menyisir rambutnya yang sebahu.

"Kangen padaku ?" tanya Andre sambil mengambil sisir dari tangan Ais.
Ais hanya mendongak sambil tersenyum.
"Ndre, urusan dengan pengacara papa pasti butuh waktu, ...jatah liburku sudah 3 hari, aku besok minta ijin menengok ke catering ya?"

"Tidak bisakah menunggu aku kembali?"

"Dan berapa harikah itu?" tanya Ais meminta kepastian.

Andre menarik nafas panjang, tidak bisa memberikan jawaban karena memang sepertinya ada banyak hal yang harus diselesaikan dan dia tidak tahu butuh waktu berapa lama untuk menyelesaikan acara pabrik dan toko batik papa.

Ais menatap suaminya dan berharap jawaban pasti, karena ijin suaminya dia perlukan untuk keluar dari rumah, apalagi cateringnya menghidupi banyak keluarga disana dan tentunya hal tersebut menjadi pertimbangan tersendiri buat Ais.

"Aku tidak tahu berapa hari utk menyelesaikan masalah ini, karena aku bahkan tidak punya data untuk kondisi pabrik dan toko batik yang papa tinggalkan."

"Berarti tidak apa apa khan kalau aku menengok katering?"

"Sebenarnya Ais , aku lebih suka kau meneruskan kembali kuliahmu, aku lebih dari mampu untuk mencukupi kehidupanmu dan Arkan."

"Tapi aku punya usaha yang melibatkan nasib orang yang bekerja padaku ndre___"

"Kenapa kau tidak merekrut orang yg bisa kau percayai untuk menjalankan usaha disana dan kau tetap bisa memantau hasilnya dari sini."

"Tapi hasilnya tetap akan berbeda ndre, lagipula menyiapkan leader lapangan itu membutuhkan waktu, tentu saja kepercayaan adalah hal yang wajib terjalin disana."

"Dan kau bersikeras tetap akan bertahan disana sampai menemukan orang yang tepat?"

"Tidak juga , aku bisa tinggal sesekali disana kemudian kembali disini."

"Dan dimana posisiku saat itu? " Tanya Andre dengan suara yang lebih tajam sambil meletakkan sisir ke meja rias .

"Kita tetap akan bertemu disini Ndre," jawab Ais dengan sabar.

"Tapi aku ingin tiap pulang ada yang menyambutku? "

"Itu hanya masalah tehnis komunikasi, kau bisa pulang kesana saat aku tengah disana dan kembali kesini jika aku disini."

Andre menatap dengan takjub kearah Ais saat mendengar pendapat praktis istrinya itu, karena jika hal tersebut terjadi lalu dimanakah yg akan disebut sebagai rumahnya, karena tanpa pabrik dan toko batik warisan papa, selama ini pun Andre selalu berkeliling menengok beberapa cabang usahanya yang mulai ada di beberapa kota.
Andre yakin dengan atau tanpa ijinnya Ais tetap akan pulang kesana untuk mengurusi katering itu.

"Lalu dimana rumah kita? karena aku tahu kau hanya mengontrak rumah disana dan seharusnya kau memang disini bersamaku dan aku lebih dari mampu untuk mencukupi keluarga kita."

"Aku perlu punya kegiatan selama kau tidak dirumah ndre."

"Kuliah bisa jadi kegiatan yang menyenangkan."

"Dan bagaimana jika kemudian kegiatan kuliahku membuatmu cemburu?

"Cemburu?"

"Seperti setumpuk foto sampah yang lebih kamu percayai dibandingkan aku?"

Andre menarik nafas panjang," Aku sudah meminta maaf untuk itu, apakah aku tidak berhak atas kesempatan kedua Ais."

Ais terdiam dan entah mengapa hatinya masih sering nyeri mengingat peristiwa yang membuatnya pergi dari rumah mama itu.
Saat Andre memeluk dan mencium rambutnya Ais mulai goyah.

"Jangan berani berani..." kata Ais sambil merengut.

"Aku hanya ingin memelukmu Ay."
Dan Aispun pasrah ketika percakapan mereka mengambang tanpa keputusan.

Pagi harinya Ais bangun kesiangan sudah hampir jam 05.00 dan tempat tidur disebelahnya kosong.
Dengan ijin dari mama akhirnya Ais bersama Arkan dan bu yanti pulang dengan mengendarai kereta api.
Mama sempat agak cemas dan lebih suka jika Ais mau naik mobil yang dengan sopir, namun dengan alasan memberikan pengalaman naik kereta api untuk Arkan , Mama akhirnya memberikan ijinnya meski tetap bersikeras mengantarkan mereka distasiun.

Menyelesaikan beberapa tugas yang terbengkalai termasuk mulai mencari pegawai yang bisa dipercayai untuk operasional seperti saran Andre membuat hari hari berlalu dengan cepat, Ais bahkan tidak akan menyadari berlalunya hari harinya tanpa ada berita dan pesan dari Andre, hingga saat menjelang akhir pekan Arkan mulai merengek dan rewel serta mulai serba salah apapun yang Ais lakukan untuknya.

Seperti malam ini yang penuh adegan drama karena Arkan yang pura pura tidur padahal belum sikat gigi, bahkan setelah sikat gigi Arkan masih merengut dan ingin cerita tentang saad bin abi waqas malam ini dibacakan oleh ayahnya.
setelah 3 kali panggilan video call yang tidak terjawab akhirnya Arkan tertidur .

Malam ini untuk pertama kalinya Ais menangis, menyesali kepergiannya yang tanpa ijin dari suaminya.
Apakah Andre marah? Hingga berkirim pesanpun tidak sempat, karena beberapa pesannya tidak satupun yang dibalas oleh suaminya dan puncaknya adalah malam ini saat video call tidak diangkat.
Ais tertidur kelelahan meskipun pikiran dan resah tentang ketiadaan kabar dari Andre.


Menantu Pilihan Mama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang