t h i r t e e n

3.2K 240 6
                                    

SAYA CUMA MAU KASIH TAHU KE KALIAN, NANTI ADA KATA-KATA KASAR SAMA VULGAR, JADI PLEASE DI-SKIP AJA BAGI YANG BELUM CUKUP UMUR. SAYA NGGAK MAU ADA YANG TERKONTAMINASI VIRUS BURUK SAYA. HEHE. MAAF CAPSLOCKNYA. BIAR DIBACA AJA. HAPPY READING YA!

*****

"Eh, entar malem ada ekspo di alun-alun kota, lo mau nonton nggak?" tanya Ernest sambil menghisap batang nikotinnya, lalu menghembuskan asapnya secara perlahan ke udara dengan santai.

Cowok berambut keriwil itu tampak nggak begitu berdosa, bahkan ketika anak-anak kelasnya menegur atau mendelikinya dengan tatapan sinis. Nyatanya, Ernest memang sedang merokok di dalam kelas. Sudah ada larangan tentang itu sebenarnya, tapi cowok itu saja yang memang bandel dan susah diatur. Berkali-kali masuk ke ruang BK cuma gara-gara batang racun itu, nggak membuat dia jera. Malah makin menjadi. Katanya, "rokok itu enak, gue nggak bisa ninggalin yang enak-enak.".

Julian terbatuk-batuk. "Bisa nggak sih lo kalau mau nyicil masuk neraka nggak usah ajak-ajak." Cowok itu menegur. Dia nggak peduliin kalimat tanya yang lebih dulu Ernest ucapkan.

"Lo yang ngerokok, gue yang mati, tau." Julian menambahi, ia lalu beringsut menjauh. Cowok itu menatap Ernest yang malah menyengir lebar, memperlihatkan giginya yang rapi.

Mata Julian mebelalak saat Ernest kembali menghisap batang racun itu dan menghembuskan kepulan asap rokok itu ke arah dirinya. Julian lagi-lagi terbatuk. "Perlu dibawa ke rumah sakit jiwa ya lo?!"

Dia sudah sering berada di dekat orang yang merokok, tapi dia masih tetap nggak bisa biasa saja.

"Ngerokok itu nggak sekeren namanya," komentar cowok itu setelah berhenti dengan acara batuknya, setelah itu mengelus dadanya yang terasa panas dan kesulitan untuk napas. Efeknya memang terlalu kuat untuk Julian, kadang kalau pergi ke kelab-kelab malam yang pasti nggak bisa lepas dari asap rokok dan alkohol, dia juga suka begitu, malah lebih parah.

Julian itu sudah lama mengenal Ernest, dari mereka masih lari-lari pakai popok, sampai mereka sedewasa ini. Dia juga sudah tahu kebiasaan temannya itu, suka ngerokok sembarang tanpa peduli sama orang lain. Padahal ngerokok bahaya. Ya untung kalau dampaknya cuma ke si perokok aktif, tapi kalau sudah ke yang pasif, ya kasihan. Julian pernah nyoba ngelakuin apa yang Ernest lakuin, tapi ternyata itu malah membuat dia diopname selama seminggu di rumah. Dan sekarang dia kapok, nggak berani nyentuh yang begituan.

"Siapa bilang? Keren kali! Cowok kalau nggak ngerokok ya nggak kelihatan keren! Nggak kelihatan tangguh!" sewot Ernest sambil membuang putung rokoknya yang masih tersisa seperempat dari jendela kelas.

"Iya, keren kalau lo mati terus dimasukin ke koran. Headlinenya, Anak Muda Satu Ini Mati karena Keseringan Menghisap Racun, Jenazahnya Dimakamkan dengan Bau Rokok dan Dosa yang Menumpuk Selama Hidup di Dunia."

"Njir, itu mah bukan headline koran, tapi judul Azab di Indosiar. Kalau goblok nggak usah dipelihara bisa nggak sih, lo?"

Julian berdecak. "Goblok kok ngomong goblok, heran gue." Cowok itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan air muka tanpa ekspresi. Merasa jengah sendiri dengan Ernest.

Ernest berdecih. "Setan lo!" umpatnya nggak suka.

"Setan teriak setan ke orang ganteng. Nggak sadar diri banget sih?" timpal Julian setengah mencibir, nggak begitu peduli kalau Ernest sedang mengambil ancang-ancang untuk mencekiknya.

"Bangke lo!"

"Ya ampun, sendirinya padahal bangke."

Rasa-rasanya pengin banget Ernest bunuh Julian, biar spesies kayak cowok satu itu minimal berkurang di dunia, untung-untung punah. Tapi Ernest kasihan sama dirinya sendiri, dia nggak mungkin bunuh Julian, secara teman cowoknya ya cuma cowok manja itu.

"Ah tau ah, lo ngeselin jadi orang." Ernest memilih mengakhiri perdebatan nggak penting mereka. Percuma kalau mau ngeladenin Julian, nggak bakalan ada habisnya. Cowok itu banyak bacot, nggak berfaedah juga lagi.

"Jadi lo mau nonton ekspo nggak entar malem?"

"Ekspo? Nggak tahu. Kalau jelek ngapain gue tonton?"

"Bagus kali. Gue kemarin lihat gengnya si Jessica, mantan lo yang wahgeelaseh, yang member-membernya seksi banget itu daftar buat live performance di sana. Dia mau cover dance ala-ala Korea gitu. Terus gue ngintip gitu kemarin pas dia latihan. Anjir, parah, gila, seketika turn on gue. Lo harus nonton pokoknya. Gue saranin banget, Bro."

Julian mendecih. "Nggak guna sih. Gak bakalan kayak lo juga gue. Mereka bukan Lana sih, coba aja kalau Lana?"

"Apaan? Kerempeng gitu cewek lo."

"Lo nggak tahu aja sih ya, yang suka nempel-nempel sama dia kan gue, bukan lo. Jadi lo nggak tau."

"Ya udah, entar gue coba nempel kalau gitu," sahut Ernest enteng.

Julian melotot, "Lo bener-bener mau masuk neraka ya? Apa perlu gue kasih lo sianida?"

"Mainstream banget itu mah," balas Ernest sambil mendengkus.

Sama-sama gila tuh cowok berdua. Nggak ada yang punya otak waras, miring semua.

Obrolan keduanya terus berlanjut. Dari yang membahas topik A sampai Z, lalu kembali ke A dan berakhir ke Z lagi. Pokoknya begitu saja terus. Bikin anak-anak kelas mereka pada berhamburan keluar cuma gara-gara nggak mau dengerin mereka ngomong. Capek sendiri lah.

"Jadi gimana?"

"Gimana apanya?"

"Mau dateng nggak sih lo?"

"Lana masih ngambek sama gue."

"Apa hubunganya njir?"

Julian cuma angkat bahu sambil ngalihin pandangannya ke bangku Lana yang ada di pojokan, cewek itu tampak sibuk dengan ponselnya. Sesekali kedua alisnya saling menyatu, seolah ada hal berat yang sedang cewek itu lakukan.

Julian sama sekali nggak ngerti, Lana juga tiba-tiba menjauhinya begitu saja. Bahkan beberapa minggu ini mereka nggak duduk sebangku. Lana menolak tegas saat Julian ingin duduk di samping cewek itu. Dia nggak tahu apa alasannya. Untuk masalah hoax yang dia ciptain kemarin itu juga sudah clear.

Terus, Lana kenapa? Itu yang sebenarnya sedang otak kecil Julian pikirkan. Entahlah, mungkin dia harus memaksa Lana untuk mengakui apa yang menjadi permasalahan di antara mereka.

TBC

Bukan Bumi dan Bulan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang