Besoknya, ternyata Lana nggak masuk lagi. Julian sudah mencoba menghubungi cewek itu, tapi nomornya nggak aktif. Rencananya, setelah pulang sekolah nanti cowok itu bakalan ke rumah Lana. Dia cuma mau memastikan bagaimana keadaan Lana, mungkin saja cewek itu lagi sakit.
"Julian, temenin aku ke kantin dong," rengek cewek yang tiba-tiba duduk di samping Julian itu dengan manja.
Julian mengalihkan tatapannya dari layar ponsel ke cewek di sampingnya itu, dia sedang menunggu balasan chat dari Lana, tapi Lana belum menunjukkan tanda-tanda online juga. Mungkin dia memang sengaja nggak mengaktifkan handphonenya.
"Apa sih lo Sya? Nggak lihat gue lagi sibuk?" Dia mengangkat alisnya tinggi-tinggi, memberikan gestur nggak nyaman atas keberadaan cewek itu yang sedang bergelayut manja di lengan Julian.
"Sya?!" Si cewek itu memekik, nggak terima dipanggil begitu. "Aku Dira! Kok kamu panggil Sya sih?! Sya siapa? Sya siapa Julian?! Aku Dira, aku pacar kamu, Julian! Masa sama pacar sendiri kamu lupa nama aku?!" Cewek itu mulai teriak-teriak kesetanan, bikin kelas Julian geger.
"Oi Jul, selir lo tuh suruh diem. Nggak tahu apa kita lagi belajar?!" peringat salah satu teman sekelasnya.
Julian berdecak sambil memutar bola matanya malas. "Diem atau mulut lo gue lakban." Cowok itu memelototkan matanya ke cewek yang bernama Dira tadi.
Dira mendengkus kesal, lalu menyilangkan tangan di depan dada dan mengerucutkan bibirnya. "Nama aku Dira, Julian. Bukan Sya entah siapa itu. Baru kemarin loh kita jadian, masa kamu lupa nama aku?"
Lagi-lagi Julian merotasikan bola matanya. "Nama lo susah diinget," kata Julian agak malas.
"Ck! Nama panggilanku itu cuma dua suku kata, Di-ra!" Dira mulai berapi-api lagi.
"Jangan teriak-teriak, kelas gue bukan hutan. Lo kalau mau gitu, gih sana ke hutan. Temuin saudara lo di sana," celetuk Julian sambil mengedikkan dagunya ke pintu kelas, wajah cowok itu sama sekali nggak menunjukkan ekspresi berdosa, malah terkesan datar.
"Ih, kok kamu ngeselin gini sih?! Pacar kayak apa sih kamu?! Aku mau kita putus pokoknya!"
"Ya udah," sahut Julian enteng.
Dira membulatkan bola matanya. "Ih, kok kamu gitu? Seharusnya kamu nggak mau dong aku putusin?! Kamu nolak dong?! Kamu harusnya pertahanin aku!"
Entah untuk ke berapa kali Julian memutar bola matanya hari ini. "Ck! Siapa sih lo, minta gue pertahanin? Siapa coba? Siapa? Bukan orang yang gue sayang juga. Jangan geer deh, nggak usah besar kepala juga kalau gue terima ungkapan cinta lo kemarin, gue cuma nggak mau bikin lo sakit hati dan malu keterlaluan di depan umum. Harusnya lo berterima kasih atas kebaikan gue sama lo." Julian dan selalu dengan kalimat cowok itu yang suka seenaknya sendiri.
"Kok lo jahat banget sih Jul sama gue? Gue kira lo bukan cowok yang kayak gini, seharusnya gue percaya sama omongon temen gue kalau lo itu brengsek." Tangis Dira pecah. Cewek itu terlihat benar-benar sakit hati atas perbuatan Julian yang bahkan sama sekali nggak merasa bersalah.
"Ya itu mah salah lo sendiri, udah tahu gue gitu, kenapa masih mau jadi pacar gue? Kalau lo sakit hati gue harus apa? Kayang selama dua jam? Lari keliling sekolah seratus kali? Ogah! Dah, lo pergi sana aja deh! Gue enek lihat muka jelek lo!" kata Julian pedas.
Sebenarnya dia bukan tipe cowok yang suka mengucapkan kata-kata menohok seperti itu. Palingan kalau ada kejadian seperti ini dia nggak ngomong apa-apa, cuma ngebiarin cewek-cewek yang dia putusin mengatakan apa yang ingin mereka katakan, kalau mau nampar, ya nampar aja. Nggak masalah. Toh entar dia bisa laporin ke BK kalau tamparan mereka keterlaluan banget. Tapi kali ini dia emang lagi emosi, emosi yang udah dia tahan sejak kemarin. Emosi yang bermula dari menghilangnya Lana sevara tiba-tiba, dan dia sama sekali nggak mendapat kabar apa pun dari cewek itu. Perasaan Julian jelas campur aduk. Dia khawatir terjadi sesuatu sama cewek yang dia sayang.
"Jul, jangan keterlaluan gitu lah. Dira cewek kali, hatinya rapuh, dan omongan lo pedes banget, sumpah! Nggak berani gue nyela," Ernest mengambil posisi di samping Julian, dia tadi lagi duduk di bangkunya yang ada di pojokan, tempat paling strategis kalau mau tidur pas jam pelajaran. Dan karena suara Dira yang nadanya tinggi semua, Ernest jadi kebangun sendiri tadi.
Julian cuma nolehin kepalanya, nunjukin betapa sepet wajah cowok itu.
Ernest berdecak, "Ck! Lo kenapa sih? Ada masalah apa? Lana?" tebak cowok itu tepat sasaran. Dan Julian cuma nunduk, mainin smarthphonenya.
"Ya elah, Lana mulu yang ada di otak lo. Banyak kali cewek yang lebih segala-galanya dari dia. Banyak yang lebih cantik, yang lebih seksi, yang lebih pengertian, lebih pinter dari dia."
Julian mengabaikan ceramahan Ernest cowok itu sedang fokus dengan ponselnya. Ada satu pesan masuk dari nomor Lana yang membuatnya merekahkan senyum lebar, menggantikan wajah kusut nan asamnya tadi.
LANA BULANNYA GUE
Jul, temuin gue sore nanti. Di taman kota.
Singkat, padat, tapi bisa membuat hati cowok itu berbunga-bunga.
Julian cepat-cepat membalas pesan Lana.
Me
Sekarang gue juga bisa kok
LANA BULANNYA GUE
Jangan bolos cuma buat nemuin gue. Kalo nanti sore ya nanti sore.
Julian cuma bisa nurut permintaan Lana. Walaupun dia sama sekali nggak sabar untuk menemui cewek itu.
Tapi, kenapa Lana ingin menemui Julian? Dia baik-baik saja kan kalau begitu? Tapi kenapa Lana nggak masuk sekolah?
Beberapa tanda tanya memenuhi otak kecil Julian. Membuat cowok itu semakin nggak sabar untuk menanti si sore tiba.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Bumi dan Bulan [TAMAT]
Fiksi Remaja[15+] LENGKAP [Tidak ada adegan dewasa, hanya kata-kata yang kasar. Jangan ditiru!] Julian itu ganteng. Hampir semua cewek suka sama dia. Julian itu playboy. Dan hampir semua cewek masih suka sama dia. Julian itu cuek, tapi kalau sama Lana dia perha...