t w e n t y o n e

3K 222 16
                                    

Semakin lama hubungan Julian dan Lana semakin buruk. Nggak ada lagi kalimat sapa yang mengudara, nggak ada lagi rengekan manja Julian yang biasa bikin kelas mereka ramai karena hujatan-hujatan pedas, nggak ada lagi Julian yang biasa keras kepala kalau keinginannya nggak dikabulin sama Lana. Momen itu hilang seiring keduanya yang menjauh. Pokoknya cowok itu sudah benar-benar berubah, biasanya pecicilan jadi pendiam, biasanya yang paling ramai jadi nggak banyak ngomong.

Eenest yang sampai sekarang nggak tahu apa-apa cuma bisa memendam rasa penasarannya dalam-dalam. Julian menolak bercerita padanya ketika ia tanyai kenapa.

Untuk Lana sendiri, cewek itu sudah jarang masuk sekolah, sekalinya masuk, dia jadi sering dibawa ke UKS, kesehatannya berkali-kali ngedrop. Pihak sekolah pun juga kelihatannya nggak tahu apa-apa tentang sakitnya Lana. Cewek itu sama sekali nggak mau kasih tahu mungkin, entah karena malu atau takut dihina, semua kemungkinan itu bisa terjadi.

"Jul, kenapa sih lo?" tanya Ernest di suatu sore ketika rasa penasaran cowok itu semakin menjadi. Ernest bahkan nggak peduliin tetesan-tetesan keringat yang ada di tubuhnya, pun rasa lelah setelah beberapa jam latihan basket itu. Dia cuma mau fokus sama sahabatnya yang keras kepala ini. Sok-sokan mendam masalahnya sendiri, padahal nggak tahu apa yang harus dia lakuin, Ernest tahu itu. Dia sudah kadung hafal jalan pikiran Julian.

Apalagi dia yang biasanya nggak berhenti berceloteh, mengomentari setiap permainannya, entah itu saat mengoper bola, mengshoot bola ke keranjang, atau mendribble bola dengan komentar pedasnya, jadi diam seribu bahasa.

Julian memang masih sepertia biasa menemani Ernest, dia akan duduk di tribun penonton, tapi bukan untuk jadi penonton. Dia cuma bengong sambil mikiran apa, Ernest juga nggak cukup tahu.

"Oi! Jangan bengong aja elah!" Cowok yang sampai sekarang masih berambut kriwil itu mengambil posisi di samping Julian, menyenggol bahu temannya itu dengan lengannya yang penuh keringat.

Julian cuma mengerjap beberapa kali, sebelum menggeleng pelan, dan kembali fokus dengan lamunannya itu.

"Jul, ya ampun, kalau lo ada masalah itu cerita dong, gue ini temen lo. Gue nggak suka lihat lo kayak gini. Gue lebih suka lo rusuhin. Coba lo cerita sama gue, siapa tahu beban lo bisa berkurang, siapa tahu juga gue bisa bantu memecahkan masalah lo. Jangan gini dong Jul, gue ngerasa jadi temen yang gagal untuk lo."

Julian melengos. Tampak nggak peduli dengan itikad baik Ernest yang mau membantunya. "Gue nggak butuh bantuan lo, percuma, masalah gue nggak akan bisa selesai gitu aja," katanya lalu berdiri dan meninggalkan Ernest yang terbengong-bengong. Nggak, dia sama sekali nggak tersinggung sama ucapan Julian, karena dia emang lumayan hafal gimana watak cowok itu, tapi ya tetap saja, meski Ernest tahu Julian luar-dalam pun, dia masih bisa ngerasa speechless melihat gimana sikap kawannya itu.

"Gila aja punya temen kayak lo, Jul-Jul. Untung gue sabar, baik hati, dan nggak sombong."

*****

"Ternyata benar, pergaulan kamu memang sebebas itu. Saya nggak akan terkejut ketika tahu kamu mengidap HIV dan AIDS." Pria berperawakan tinggi dengan gurat dewasa di wajahnya itu sama sekali tak merasa kasihan ketika melihat putri semata wayangnya hanya bisa terbaring lemah di atas ranjang pesakitan khas rumah sakit.

"Saya berharap saya nggak punya anak kayak kamu yang cuma bikin saya malu saja." Kata-kata itu seperti belati yang dileparkan dan tepat mengenai ulu hati Lana. Rasanya benar-benar menyakitkan. Ia ingin menangis kencang dan mengatakan pada Tuhan untuk segera mengakhiri penderitaannya. Tidak ada hal lain yang lebih menyakitkan dari seorang anak yang tak diterima kehadirannya oleh orang tuanya sendiri. Tapi Lana juga tidak punya kuasa apa pun. Dia hanya bisa membiarkannya saja dan menyerahkan semuanya pada Tuhan.

"Tutupi penyakit kamu, jangan sampai ada orang lain yang tahu. Saya nggak mau citra saya jatuh cuma karena anak nggak tahu diri kayak kamu." Ayahnya berucap tanpa berperikemanusiaan, sebelum berbalik dan pergi dari ruang rawat Lana.

Lana cuma bisa meremas spreinya kuat-kuat dan memejamkan matanya rapat-rapat, tak membiarkan matanya memanas dan mengeluarkan air mata untuk yang entah ke berapa kalinya hari ini. Ia mencoba meneguhkan hatinya dengan doa-doa yang tak putus pada Tuhan, menguatkan dan menyakinkan diri jika hujan badai yang sedang ia alami akan segera berhenti.

"Lana, maaf atas keteledoran pihak kami, kamu jadi dituduh yang macam-macam oleh ayah kamu, saya benar-benar minta maaf Lana." Lana membuka matanya, melihat wanita cantik dengan seragam dokter dan perut yang membuncit itu dengan senyum tipis yang terurai.

"Dokter Miranda," sapanya lirih, dengan senyum yang masih setiap menghiasi, padahal dari tatapannya semua orang bisa tahu jika gadis lemah itu tengah kesakitan, entah raganya atau hatinya, atau malah dua-duanya.

"Kenapa kamu masih bisa tersenyum Lana? Ayah kamu, ayah kamu bahkan tidak menerima kamu." Dokter itu menatap Lana dengan pedih. Mungkin dia sedang membayangkan bagaimana jika ia berada di posisi Lana.

"Saya tidak apa-apa Dok, saya baik-baik saja kok."

Wanita itu menggeleng, "Tidak Lana. Kamu tidak baik-baik saja," katanya. "Saya bisa menjelaskan ke ayah kamu tentang kesalahan pihak kami tahun lalu yang lalai dengan membiarkan jarum suntik yang baru dipakai penderita HIV untuk mengambil darah kamu."

Lana lekas menggeleng. Tidak, dia akan tetap membiarkan sang ayah dengan persepsinya. Ia tidak mau ayahnya menyesal telah mengatakan hal-hal menyakitkan seperti tadi. Ia mengerti, ia sangat mengerti. Tidak ada orang tua yang akan baik-baik saja mendengar kabar anaknya menderita penyakit seperti itu. "Jangan Dok, jangan. Saya mohon jangan. Saya nggak mau ayah saya nyesel di kemudian hari. Biarkan beliau dengan persepsinya."

"Tapi---"

"Saya mohon Dok."

Ada helaan napas panjang yang menjeda percakapan mereka. "Semua ada di tangan kamu Lana, menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, atau tetap membiarkan semuanya seperti ini."

TBC

Bukan Bumi dan Bulan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang