e i g h t

3.7K 270 14
                                    

Karena pengakuan super gila yang kadar kebenarannya nol persen itu, sekarang baik Julian dan Alana sudah duduk di kursi yang paling dibenci dan paling nggak dipengenin sama semua anak SMA mereka.

Katanya, kursi itu kursi keramat. Siapa pun yang duduk di sana nggak bakal selamat. Pokoknya, ada aja kesialan yang nimpa siapa pun yang duduk di sana. Entah itu dikeluarin dari sekolah, diskors, dihukum suruh keliling lapangan berpuluh-puluh kali, disuruh bersihin toilet sekolah yang nggak cuma satu-dua, tapi banyak, dan masih banyak lagi pokoknya.

Ya emang mana ada sih yang mau ngelakuin hal-hal kayak gitu? Nggak bakalan ada.

"Jadi Alana, kamu beneran hamil?" Bu Anggis menatap Alana dengan tatapannya yang selalu tajam. Beliau ini terkenal sebagai guru BK--bimbingan konseling--yang paling galak, paling killer, paling nyeremin, dan paling-paling lainnya. Pokoknya guru Matematika aja kalah sama beliau satu ini.

Lana menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali, menolak tuduhan gurunya itu. "Demi Tuhan Bu, saya tidak pernah melakukan hal tak senonoh dengan Julian." Wajah cewek itu sudah cukup pias sekarang. Dia meremas ujung jaket yang dia pakai dengan cemas, takut-takut jika guru satu itu tidak mempercayai ucapannya.

Bu Anggis mendecakkan lidahnya. "Saya tanya kamu hamil atau tidak Lana, bukan bertanya apa kamu melakukan hal tak senonoh dengan Julian," kata beliau dengan tegas, maniknya masih menyorot tajam dua anak manusia di depannya.

Tubuh Lana makin tremor. Cewek itu melirik Julian yang malah menyender santai dengan manik sayu yang menandakan cowok itu malas berbasa-basi di sini.

Lana sudah cukup tahu, Julian tidak akan mau membantunya mencari alasan-alasan lain untuk menyangkal pertanyaan gurunya itu. Padahal, jelas-jelas cowok itu tadi yang mengatakan omong kosong.

"Saya benar-benar tidak hamil Bu, demi Tuhan. Ibu bisa cek sendiri."

Bu Anggis memicingkan matanya. Sepertinya enggan mempercayai Lana. Beliau lalu memalingkan wajahnya ke arah Julian. Sama seperti tadi, tatapannya begitu tajam. Beliau nggak akan peduli sekalinya cowok itu anak pemilik yayasan yang mendirikan sekolah tempat dia bekerja. Pikiran Bu Anggis sangat objektif pada siapa pun itu, tanpa memandang status sosial dan stratanya.

"Julian, saya tidak mungkin mendengar pembelaan hanya dari satu pihak. Saya butuh penjelasan dari kamu, karena kamu yang bilang Lana hamil anak kamu."

Julian menghela napas dengan jengah. Dengan sikap nggak sopan dan kelewat beraninya, dia mendecakkan lidahnya beberapa kali, lalu menjawab dengan nada kesal, "Ya menurut Ibu sendiri gimana? Saya bener-bener ngehamilih Lana apa enggak?" tanya cowok itu dengan tatapan masih sayu.

Sekarang waktunya emang lagi jam istirahat, dan biasanya, di luar jam istirahat sekalipun, ini jam-jamnya cowok itu tidur.

"Kamu ini Jul, yang sopan kalau sama guru!" peringat beliau dengan nada tingginya.

"Kurang sopan apa sih Bu, saya?" Julian emang seberani itu. Cowok punya sifat masa-bodo yang udah mendarah daging dari bayi atau mungkin dari dia masih jadi zigot. "Saya kan nggak meletin Ibu, nggak memaki Ibu, nggak nyumpahin Ibu, nggak menyela ucapan Ibu, nggak ngolok-ngolok badan Bu Anggis yang gedhe uwow," Cowok itu menyinggung perihal badan Bu Anggis yang memang tidak bisa dibilang langsing, apalagi kurus. Tubuh wanita di umur awal empat-puluhan itu bisa dibilang sangat tambun.

"Coba kamu ulang ucapan kamu yang terakhir Jul, saya mau dengar lagi," Bu Anggis tak benar-benar menyuruh Julian mengulangi ucapannya. Beliau cuma mau tahu, seberapa besar keberanian Julian. Apa cowok itu masih mau menyebutnya berbadan besar, meski memang itu kenyataannya atau tidak.

"Yang badan Ibu Anggis gedhe?" Bu Anggis tidak perlu menjawab pertanyaan retoris cowok itu. Beliau hanya cukup membolakan onix coklatnya ke arah Julian. "Ya nggak usah ditanyain lagi kan, Bu. Badan Bu Anggis kan emang gedhe banget. Saya peluk aja, nggak bakalan cukup ini tangan-tangan saya. Ibu sih, pake nggak mau diet. Kalau udah gendut kayak gitu susah kan?"

Sesaat, topik tentang hamilnya Lana sempat dilupakan. Bu Anggis lebih memilih beradu argumen yang sangat membasikan dengan Julian yang sama sekali nggak punya niat buat ngomong seserius itu sama guru killernya ini.

Ini seharusnya menjadi peluang bagi Lana untuk kabur dari ruangan panas itu. Tapi otak warasnya sudah lebih dulu bereaksi, mengingatkan jika nanti dia kabur, masalah bodong yang menimpanya itu malah akan jadi semakin rumit. Jadi, menetap adalah pilihan yang paling bagus untuk dia ambil.

"Udah, udah. Kenapa jadi ngomongin bentuk badan saya? Kan ini masalah kamu benar-benar menghamili Lana apa tidak. Dan tolong Julian, jelaskan pada saya. Saya butuh penjelasan dari kamu."

Lana meringis. Cewek itu berharap Julian nggak bakalan ngaco lagi. Citra Lana yang baik pasti bakalan jatuh sejatuh-jatuhnya pas orang-orang tahu berita nggak benar tentang dirinya.

"Nggak. Lana nggak lagi hamil. Saya cuma lagi kesel aja tadi sama dia. Masa dia lebih milih papan tulis daripada saya. Udah jelas kan, saya lebih ganteng. Lebih enak dipandang. Lebih kaya, banyak duit, dompet tebal, kartu kredit banyak, nggak usah diragukan. Ya pokoknya gitu." Julian ogah-ogahan sebenarnya, tapi ya mau gimana lagi?

Lana pasti bakalan marah sama dia, kalau Lana marah, nggak bakalan ada yang nungguin dia, ngerjain tugas dia, ngelusin kepala dia kalau lagi mau tidur, bikinin dia susu, mijitin badan dia yang pegel-pegel walau nggak dia pakai buat kerja keras, nggak bakalan ada yang bisa dia ciumin pipinya, dia peluk kalau lagi badmood atau kalau lagi kedinginan, nggak ada tempat manja-manjaan dia. Pokoknya bagi Julian Lana itu penting banget buat kelangsungan hidup dia.

Bu Anggis tampak terbengong-bengong. Speechless sendiri sama jawaban Julian. Bukan apa-apa ya, Bu Anggis ini sebenarnya dari awal nggak percaya cowok semanja Julian itu punya pemikiran sampai ke tahap 'sengebet itu pengen punya anak', apalagi sama Lana yang terkenal dengan kelurusannya. Julian itu pokoknya terlalu kekanakan, jadi ya agak aneh aja kalau dia sampai ngehamilin cewek itu.

"Julian saya nggak benar-benar habis pikir sama kamu." Bu Anggis ngegelengin kepalanya dramatis, sama kayak Lana. Beliau cukup frustrasi sama tingkah muridnya satu itu.

"Ya emang saya nyuruh Ibu buat mikirin saya? Enggak, kan? Jadi nggak usah sok nyalahin saya gitu, Bu. Ibu pikir saya bakal simpati gitu? Hidih, mimpi aja Bu."

Sosok Julian sudah mampu mendeskripsikan bagaimana contoh murid yang tidak tahu diri dan suka ngebantah, bersikap nggak sopan sama gurunya, dan suka seenaknya sendiri. Cocok banget kalau seumpamanya bakal banyak orang yang jadi haters dia.

Julian benar-benar cowok terkampret yang pernah ada.

TBC

Suka? Vote + komen. Nggak suka? Sak karepmu.

Bukan Bumi dan Bulan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang