s i x t e e n

2.8K 214 2
                                    

Hari-hari Julian berjalan seperti biasanya. Cowok itu sudah keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu, dan sekarang dia sudah masuk ke sekolah dengan wajah segar, meski kelihatan agak tirus dari sebelum-sebelumnya.

Selasa pagi, satpam sekolah terlihat sibuk mengatur motor-motor yang diparkir berantakan. Anak-anak dari seluruh angkatan mulai berdatangan. Raut mereka tampak beragam, ada yang dengan senyum lebar, bibir melengkung ke bawah, sama sekali nggak ada ekspresi, ada juga yang kelihatan lagi menahan sesuatu. Pokoknya beragam banget.

"Oi Jul! Tumben nongkrong di parkiran?" Ernest yang baru keluar dari mobilnya langsung berjalan menghampiri Julian yang lagi duduk di atas kap mobil dengan kaki bersila.

"Nunggu bebep gue dong!" sahut cowok itu sambil memakan sandwich yang ibunya bekalkan. Julian belum sempat sarapan, begitu selesai dengan persiapan sekolahnya tadi, cowok itu langsung berangkat.

Ernest mengangguk-angguk lalu mengambil tempat di sisi Julian. Tangan cowok itu terulur, hendak mengambil roti isi yang ada di tuperware pangkuan Julian, tapi Julian sudah menampiknya lebih dulu.

"Kata Mama nggak boleh dibagi-bagi, harus gue makan sendiri. Gue kan baru sembuh, jadi butuh tenaga ekstra untuk mengawali hari yang memuakkan," kata cowok itu dengan diplomatisnya.

"Jul, lo pernah baca hadist atau apa gitu, nggak? Katanya, orang pelit itu kuburannya sempit. Matinya juga susah. Lo nggak takut?"

"Masa?"

Ernest mengangguk yakin.

"Tapi gue nggak percaya. Gimana dong? Lo coba jadi pelit dulu deh, terus mati ya. Nah, entar cerita sama gue. Bener nggak lo susah mati, terus kuburan lo juga sempit. Pokoknya harus cerita ya entar!"

Ernest berdecak. Percuma saja sih dia bilang begitu sama Julian. Cowok itu antara benar-benar bodoh, goblok, polos, pura-pura polos, semuanya sama sekali nggak ada bedanya. Yang ada kalau dia ngeladenin ucapan Julian, bisa dikira gila Ernest.

Julian lanjut makan dan Ernest mulai bosan sediri. Mereka sudah menunggu Lana cukup lama, tapi cewek yang dinanti-nanti nggak kunjung terlihat batang hidungnya.

"Eh Jul, ini udah bel loh, masa si Lana belum dateng juga sih? Lo udah cek di kelas?"

Julian mengangguk pelan. "Udah, tadi dia emang belum dateng tadi. Terus gue tunggu di sini, niatnya kalau udah dateng mau gue ajak sarapan." Cowok itu mengerucutkan bibirnya yang dibalas dengan bola mata Ernest yang berotasi.

"Katanya mau lo makan sendiri?"

"Apanya?"

"Yang tadi lo makan emangnya apa, Sucipto?" Ernest mulai gregetan sendiri.

"Dih, miskin lo! Ini roti isi, bahasa kerennya sandwich! Masa gitu aja nggak tahu?!"

Ernest angkat tangan kalau mau ngomong sama Julian. Emang percuma banget. Sangat unfaedah. Jatuhnya, dia cuma buang-buang waktu dan tenaga. "Terserah lo dah!"

Ernest bersiap-siap turun dari kap mobil Julian. "Gue duluan ya, mau cari tempat buat nyebat. Mulut gue asem banget!"

Julian cuma menjawab dengan gumanan yang nggak jelas. Cowok itu lagi fokus memerhatikan gerbang yang hendak ditutup oleh Pak Satpam. Batang hidung Lana benar-benar nggak kelihatan.

Lana di mana sih sebenarnya? Apa tadi Julian terlalu fokus sama Ernest, jadi nggak sadar kalau cewek itu sudah lewat? Kemungkinannya sih begitu. Jadi Julian memilih membereskan tuperware dan botol minumannya, lalu menaruhnya ke dalam mobil. Dia harus cepat-cepat masuk kelas, biar bisa ketemu Lana.

Tapi, beberapa menit setelahnya, bukannya Julian mendapati Lana yang duduk seperti biasa di bangkunya, dia hanya mendapati bangku cewek itu yang kosong. Tubuh Julian mulai kaku. Dan matanya cuma fokus memandangi kursi Lana.

"Julian, kenapa kamu masih berdiri di depan kelas? Cepat atau nunggu saya hukum?" Suara berat Pak Jarot, guru Kimianya menarik Julian kembali ke dunia nyata.

Dengan sorot linglung ia menandangi guru laki-lakinya itu, mengangguk dengan gestur bingung, lalu berjalan ke bangkunya dengan pikiran berkecamuk.

Cuma satu pertanyaan yang memunuhi benak Julian. Lana kenapa?

TBC

Bukan Bumi dan Bulan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang