n i n e t e e n

3K 229 13
                                    

Julian benar-benar menikmati kebersamaannya dengan Lana. Sore itu mereka habiskan untuk mengelilingi taman, berswa foto di spot-spot yang instagramable, lalu menjelang malam, keduanya memutuskan untuk pergi mengunjungi pasar malam. Memainkan beberapa permainan yang menguji adrenalin seperti kora-kora dan rumah hantu.

"Lan, naik bianglala yuk, gue pengen deh entar pas di atas berhenti gitu. Suasananya pasti romantis banget. Mau ya, pokoknya harus mau!" Julian menarik-narik lengan Lana menuju tempat antrean bianglala.

Lana menuruti semua yang Julian inginkan, karena hari ini mungkin terakhir kalinya dia bisa mengabulkan keinginan cowok itu, selanjutnya mungkin nggak akan lagi.

"Lan, ayuk, bagian kita nih yang masuk," kata Julian. Cowok itu baru berbicara pada penjaga loket yang ada di situ.

"Iya."

Keduanya berjalan beriringan menuju kapsul bianglala. Masuk ke dalam kubus itu dan duduk berdampingan. "Entar kita berhenti pas di paling atas. Lo bakal suka ngelihat pemandangannya dari sini," kata cowok itu dengan senyum lebarnya.

Lana balas tersenyum, namun senyum yang tak sampai ke matanya. Sayangnya, Julian nggak menyadari hal itu. Dia malah fokus melihat hiruk pikuk pasar malam itu dari atas ketinggian. Ada banyak orang di bawahnya, suara-suara yang saling sahut-menyahut, dari deru keras tong setan yang posisinya nggak jauh dari mereka, suara pertunjukan musik, orang-orang yang berbicara, semuanya campur aduk. Membuat pasar malam itu terlihat begitu meriah.

"Jul, lo pernah baca tentang bulan yang bakalan ninggalin bumi?"

Kening Julian mengernyit dalam. "Nggak, buat apa. Gue suka ngantuk baca yang gituan," sahut cowok itu dengan bahu yang mengedik.

"Bulan itu nggak setia Jul, dia bakal ninggalin bumi."

"Lo ngomong apa sih? Otak gue langsung ngeblank denger lo bahas pelajaran gini."

"Iya-iya, maafin gue."

Tak ada percakapan lagi. Julian memilih menyenderkan tubuhnya dan memandangi wajah Lana yang nggak begitu jelas karena minimnya cahaya.

Beberapa saat kemudian, bianglala yang mereka naiki berhenti dengan posisi mereka yang berada di paling atas.

"Jul," panggil Lana meminta atensi cowok itu.

"Hm, apa?"

"Bulan itu," Cewek itu menghentikan ucapannya, lalu menunjuk ke arah bulan sabit yang tengah bersinar di langit sana. "--lo tahu?" lalu melanjutkan.

Julian sedikit menunjuk agar bisa melihat apa yang Lana tunjuk. Senyum tipis terurai dari wajah rupawan cowok satu itu.

"Iya dong." Julian mengangguk penuh percaya diri, lalu beringsut mendekati Lana, mengambil lengannya lalu memeluk cewek itu dengan erat. "Itu kan elo, bulannya gue. Penyinar gue di kala gue kegelapan eaaaaaakk." Dia mulai menggombal. Mendusel-duselkan kepalanya ke ceruk leher si cewek.

"Lo udah bilang itu berkali-kali sebelum-sebelumnya. Apa lo nggak bosen?" Cewek itu memalingkan wajahnya, menatap puncak kepala si cowok yang tampak nyaman dengan posisinya itu.

Cowok itu hanya berdehem pelan. Lalu melihat pada bulan itu. Matanya terlihat menerawang, entah ia sedang memikirkan apa.

Si cewek terdengar menghela napas panjang.

"Lo tahu, Bulan itu ... nggak selamanya bisa nemenin Bumi. Nggak bisa selamanya menjadikan Bumi sebagai pusat atensinya." Cewek itu menarik napasnya dalam-dalam. Seolah ada beban berat yang sedang ia rasakan, lalu memalingkan wajahnya pada cowok itu yang ternyata juga sudah mengalihkan seluruh atensinya pada dirinya.

"Itu lagi yang lo bahas." Julian mengerucutkan bibirnya, gaya merajuk yang nggak pernah berubah dari tahun-tahun yang sudah berlalu. "Tapi ya Lan, yang harus lo tahu, lo itu Bulan gue. Dan gue sebagai Bumi lo, nggak bakalan biarin lo pergi," balas cowok itu dengan mantap.

Lana beringsut agak menjauh, membuat Julian menegakkan tubuhnya dan melihat cewek itu dengan tatapan tanda tanyanya. "Kenapa?" tanyanya dengan kening mengernyit dalam.

Cewek itu menggeleng. "Nggak bisa."

"Maksud lo?" kejar cowok itu, memastikan ia tidak salah dengar.

"Kenapa lo menjadikan gue sebagai bulan lo? Padahal lo tahukan, si bulan bukan si setia yang akan selalu menemani bumi?" Cewek itu mengulas senyum pedih.

"Karena bulan harus bergantung ke bumi?" jawab Julian agak nggak yakin.

"Lo pengin jadi bumi tempat bulan mengadu, kan?"

Si cowok hanya diam dan membiarkan cewek itu melanjutkan ucapannya.

"Oke. Gue ngerti, maksud lo pengen jadi superhero buat gue kan? Tapi maaf, seperti yang gue bilang di awal tadi. Lambat laun, Bulan bakalan ninggalin Bumi. Seberapa besar usaha lo mempertahankan hal itu, lo nggak akan mampu. Karena---" Cewek itu menahan suaranya. Ia memindai wajah cowok di hadapannya itu, berusaha memasukkan memori tentang dia ke dalam otak kecilnya, dan ia kunci rapat-rapat. Julian nggak mampu berkata-kata, ia merasa ada suara patahan hebat di palung hatinya. Dia mungkin bodoh, tapi dia masih mampu mengerti ucapan cewek di sampingnya ini. "---udah jadi ketentuan alam, kalau Bulan bakal ninggalin Bumi. Bulan nggak sesetia yang lo pikirkan, Jul."

Cowok itu menggeleng, bibir tipisnya tampak bergetar. Dan bola matanya bergerak liar. "Gue bisa jadi hal lain." Ada seberkas rasa khawatir yang bisa cewek itu tangkap dari gelagat cowok di depannya. "Gue bisa jadi apa pun biar lo bisa tetep bertahan di sisi gue. Gue pengen lo tetap menjadikan gue sebagai pusat atensi lo."

Cowok itu beringsut mendekat. Lalu meraih kedua tangan cewek di sampingnya dan mengenggamnya dengan sangat erat. Ia tak akan membiarkan Bulannya menjauh sedikit pun darinya. Ia akan mempertahankan Bulannya supaya tetap mau berada di sisinya.

"Gue nggak bakal biarin lo pergi menjauh barang sediki pun." Cowok itu memeluk si cewek di tubuh besarnya.

"Tapi---" Cewek itu menghela napas panjangnya. "---gue cuma manusia biasa, yang apa pun ada batasannya. Termasuk dalam hal menjadikan lo sebagai pusat dunia gue."

Cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Tidak setuju dengan ucapan cewek itu.

Apa pun caranya ia akan tetap mempertahankan Bulannya agar tetap berada di sisinya. Apa pun itu. Asal, Bulan tidak meninggalkan Bumi. Bulan tetap bersama Bumi. Bulan tetap mengelilingi Bumi sebagaimana mesthinya, menjadikan Bumi sebagai pusat segalanya.

"Gue bukan orang baik Jul," kata Lana pelan, seiring dengan bianglala yang mulai turun. "Gue bukan orang baik." Ia mengulangi kalimatnya.

"M-maksud lo apa?" Julian mencecar dengan suara bergetarnya.

Tepat setelah bianglala itu berhenti, Lana menjawab, "Gue seorang odha."

Ia lalu mengambil sesuatu dari tas slempangnya. Kertas yang sore tadi cewek itu masukkan dengan buru-buru. "Lo baca baik-baik Jul. Lo harus tahu, gue bukan orang baik."

Lana keluar lebih dulu dari tempat itu, meninggalkan Julian yang hanya mematung di tempatnya.

Odha, dia tahu sebutan untuk apa itu. Tapi, bagaimana bisa? Julian mengenal Lana dengan baik. Dia cewek baik-baik yang sangat menjunjung harga dirinya. Pergaulan Lana terbatas, nggak sebebas itu sampai terkena HIV---dan sudah mencapai AIDS.

TBC

Bukan Bumi dan Bulan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang