8. Rasa Biasa?

10 1 0
                                    

"Jadi intinya gimana?" Tanya Gea.

Gadis itu sudah berjam-jam rebahan dikamar Keyla. Bikin berantakan. Dibiarkan saja sama pemilik  kamar. Setara saja, telinganya lagi dipinjam buat mendengarkan hati Keyla yang belakangan dibombardir cowok depan rumah.

"Jadi intinya kalian itu gimana sih? Pacaran kagak! Dibilang sahabatan juga ambigu, tapi kok ada acara move on! Lo itu apanya sih Key?" Tanya Gea lagi, dikira Keyla tidak dengar mungkin.

"Gue juga bingung! Setau gue cuma sahabatan. Gue kali yang kalah, terlalu berharap." Jawab Keyla apa adanya. Matanya sibuk menatap langit kamar. Banyak warna disana. Tapi entah semua tampak tak menarik.

Dirinya dibuat bimbang dengan perasaannya sendiri. Sejak kapan ini bermula, ia masih menerka. Waktu Gilam tidak jauh lebih dari sejengkal tidak ada yang aneh. Semua sama, perasaannya , sikapnya. Semenjak Gilam hilang dari pandangannya semua jadi begini. Tapi sekarang dia sudah kembali lantas apa yang masih membuat dirinya kesal.

Keyla sering dengar katanya , kita baru akan memahami arti berharga setelah kehilangan. Mungkin benar, soal perasaannya itu. Dia kehilangan. Tapi Gilam sudah datang,wajarnya perasaan itu hilang. Ini lebih rasa tak terdefinisi, bukan sekedar kehilangan. Seperti kata Faro seperti kopi. Pahit tapi terus mau coba. Aneh.

"Ngomong deh sama dia."

"Udah kemarin gue ngomong sama dia, enggak lari malah."

Gea ganti duduk bersila tepat disamping Keyla yang masih berbaring. Tatapan gadis itu lebih serius dibandingkan biasanya. Sungguh. Keyla bisa lihat itu.

"Bukan bicara kaya gitu peak! Pakai otak lo yang gengsinya engga ketulungan itu entaran.  Kali ini coba pakai perasaan." Kata Gea, tangannya itu juga tidak mau diam memberikan penekanan disetiap kata.

"Sadar engga sih kalo elo itu terlalu gengsi buat ngakuin perasaan lo sendiri!"

Lagi, Gea jadi lebih bijak ketimbang dirinya kalo masalah beginian. Pengalaman Gea dipatahkan sepertinya lebih banyak ketimbang Keyla. Dirinya dipatahin satu aja engga sembuh-sembuh.

"Cuma sahabatan! Just it , not more! "

Keyla menarik nafas panjang mengambil jeda, entah mengapa ia merasa dadanya jadi sedikit  terasa sesak.

"Perhatian Gilam ke gue itu juga cuma sebatas sahabat. Dia bakal pergi kalo gue berharap lebih." Lanjutnya.

"Elo  pernah denger pake telinga elo sendirin kan, soal pengakuan diplomatis Gilam kalo elo punya dia?"

"Inget kan bagian itu! Gue ada disana juga! Apa itu enggak cukup membuktikan kalo kalian berdua ada apa-apa."

Gea terus bicara.Tiap kata yang terlontar hanya semakin membungkamnya.

Bagaimana ia bisa lupa bagian itu. Keyla ingat kejadiannya tepat ditengah lapangan basket. Kurang lebih jam satu siang, selepas sholat dzuhur. Cukup bikin malu dirinya. Entah itu bercanda atau seriusan yang diucapkan Gilam waktu itu bikin dia tenar. Utamanya dikalangan anak kelas tiga SMP Kusuma Bakti.

Gilam kalau tidak salah berkata begini.

"Hei kamu yang sedang berjalan bawa mukena warna biru."  Teriakannya lantang , meski dengar Keyla masih acuh. Tak menoleh, ia merasa tidak terpanggil.

"KEYLA ARDITAMA!!" Lagi Teriaknya. Jelas Keyla menoleh ke sumber suara. Sesuai dugaan suara yang masih terdengar begitu halus meski sedang berteriak. Itu suara Gilam.

Cowok itu tepat berdiri dibibir lapangan. Tampak banyak cowok lain duduk diteras. Ramai. Memalukan.

Mau apa sih dia.. batinnya waktu itu.

NOSTALGIA RASA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang