Chapter 11: Childhood

16.5K 1.1K 16
                                    

The 12 yrs old Francis’s POV

 

Ini adalah liburan terakhirku bareng dengan keluarga om Harry sebelum melanjutkan sekolah di New York. Ini saat-saat terakhirku juga bersama dengan anak pecicilan bernama Calista itu. Kak Boy dan kak Feren selalu saja melepaskan tanggung jawabnya untuk mengurus Calista sehingga akulah yang harus mengurus dan melindungi anak yang tidak bisa diam itu. Kak Boy dan kak Feren seenaknya memilih untuk mengurus Mandy yang jauh lebih kalem itu. Memangnya Mandy butuh dua orang untuk mengawalnya? Aku menyesal karena aku adalah anak paling kecil di keluarga ini sehingga kak Boy dan kak Feren bisa seenaknya saja menyuruh-nyuruhku untuk mengurus Calista. Anak berumur enam tahun ini benar-benar merepotkan. Aku sudah mendapatkan firasat buruk saat pertama kali melihatnya. Dari pertama kali aku melihatnya, dia memang selalu tudak bisa duduk diam.

 

“Tata!” Aku berteriak pada anak kecil itu. Dia berlari naik ke atas tangga dengan cepat. Dia bahkan tak menjawab panggilanku. Nakal sekali anak itu.

 

“Tata balik sini!” Teriakku lagi. Anak itu tba-tiba saja sudah mengilang saat aku berada di lantai dua. Kenapa anak berumur enam tahun sepertinya lari dengan kencang sekali. Kenapa juga staminanya tidak berkurang-kurang. Dia seperti punya energi yang tak ada habisnya. Aku melihat ke seluruh ruangan di lantai dua. Aku masih saja tak menemukannya.

 

“Tata!” Aku berteriak lagi. Tak ada jawaban sama sekali. Aku mencoba naik ke lantai ketiga rumah om Harry. Aku melihat area jemuran di tempat ini. Di sebelahnya, terdapat genting berwarna merah tua. Aku melihat ke atas genting dan menemukan Calista ada di puncak genting. Bagaimana cara anak itu naik ke atas genting setinggi itu? Aku bahkan belum pernah naik ke atas genting. Anak itu benar-benar menyusahkan.

 

“Ta, turun. Bahaya.” Kataku.

 

“Ngga mau, weeek.” Kata Calista menjulurkan lidahnya.

 

“Tata! Nurut sama kakak sedikit kenapa sih?!” Kataku membentaknya untuk menakut-nakutinya.

 

“Coba aja kesini kalo berani.” Katanya malah menantang. Aku dengan hati hati akhirnya ikut memanjat genting. Anak itu masih duduk dengan santai. Memanjat genting ternyata benar-benar tak mudah. Selain terlalu miring, permukaan genting juga licin. Aku beberapa kali hampir terpeleset. Saat aku hampir sampai ke atas, anak itu sudah tak terlihat lagi. Aku dengan tergesa-gesa pergi menuju ke puncak dan melihat ke balik genting. Aku tak melihat anak itu juga. Kemana lagi anak itu? Cepat sekali dia muncul dan menghilang. Benar-benar mirip tuyul.

 

“BA!” Aku mendengar suara itu dari belakang. Jantungku hampir saja copot. Aku segera duduk dan memegang ujung genting agar tidak jatuh. Aku memegang dadaku yang seperti baru terkena serangan jantung. Aku mendengar anak kecil itu tertawa dengan kencang. Dia sepertinya puas sekali mengerjaiku. Aku menjewer pipi tembemnya. Dia berteriak kesakitan.

 

“Bandel banget sih.” Kataku kesal sekaligus gemas. Sepertinya tak mungkin memarahi anak ini. Mukanya benar-benar polos dan imut. Ada apa denganku? Bagaimana aku bisa merasakan hal seperti ini pada anak berusia enam tahun? Jangan-jangan aku ini pedophil lagi.

 

“Francis nyebelin.” Katanya duduk di sebelahku dengan kesal.

 

PixieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang