Chapter 13: Counter Attack

15.8K 1K 2
                                    

Francis’s POV:

Seperti biasanya, jalanan Jakarta benar-benar macet. Tidak heran juga karena ini adalah jam pulang saat makan siang. Aku dapat melihat mood Claista yang buruk karena dia hanya berdiam diri dari tadi. Aku terlalu bingung untuk mau berbicara apa, akhirnya suasana mobil jadi sunyi. Beberapa kali, aku melihat ke arah Calista untuk memastikan keadaannya. Sepertinya dia tidak sadar bahwa aku memperhatikannya. Sepertinya pikirannya sedang dipenuhi oleh sesuatu.Tiba-tiba saja Calista mengangkat kedua kakinya ke atas kursi mobil. Dari gayanya, aku tahu dia sedang mencoba untuk mengerjaiku. Aku melirik ke arah Calista. Roknya yang memang pendek itu, terangkat karena dia mengangkat kakinya. Walaupun tidak memperlihatkan bagian yang vulgar, tetap saja pemandangan itu akan mengundang hasrat setiap laki-laki yang melihatnya. Karena jalanan sangat macet, aku takut bahwa supir truk yang ada di sebelah kami akan melihat ke arah mobil dan mendapatkan pemandangan gratis ini. Aku segera merogoh selimut di kantung kursi yang ada di belakang Calista. Aku menyodorkan selimut itu kepadanya.

“Ini, pake selimutnya. Lo kan lagi pake rok, ntar jadi tontonan gratis penumpang mobil sebelah lagi.” Kataku sambil menyelimuti kakinya dengan selimut yang baru saja kuambil.

Aku dapat melihat sikap Calista yang kaget dengan reaksiku. Sepertinya dia mengira bahwa aku akan marah atau merasa risih dengan kelakuannya. Tentu saja aku tidak keberatan dia menaikkan kakinya. Mama juga selalu menaikkan kakinya saat dimobil denganku. Lagipula kaki Caista tidak kotor dan aku tidak pernah khawatir dengan kebersihan mobilku karena setiap hari mbak Inul pasti membersihkan mobilku. Aku melihat ekspresi buka Calista yang kesal. Setelah aksinya yang gagal, dia sepertinya ingin berbuat onar lagi. Kali ini dia memasukkan jarinya ke hidungnya. Sambil celingukan, dia seperti mencari spot yang tepat untuk menempelkan upil itu. Dengan cepat aku mengambil tissue dan mengelap upil itu dari jarinya. Tentu saja jika aku tak tahu ini semua adalah tipu muslihatnya, aku pasti akan jijik sekali dengan perempuan ini. Untung saja aku sempat menguping percakapan Calista dan om Harry saat di airport, jadi setidaknya aku tahu bahwa ini semua hanya trik yang dikeluarkan Calista agar aku menjauhinya. Lagipula kenapa dia menolak semua laki-laki yang mendekatinya? Memangnya dia tidak ingin menikah suatu hari nanti? Aku melihat kea rah Calista lagi. Dia sedang menggaruk-garuk kakinya. Aku menggelengkan kepalaku. Kenapa dia masih tidak kapok juga mengeluarkan semua triknya? Aku benar-benar tidak percaya bahwa ada perempuan yang berani merusak image-nya hanya untuk dijauhi laki-laki. Aku benar-benar ingin melihat sejauh apa Calista akan meluncurkan semua triknya. Mungkin aku sudah tertular sifat usil Calista, tapi aku benar-benar merasa bahwa tingkahnya itu sangat lucu. Lagipula, aku sudah bukan Francis yang dulu akan menangis jike dikerjai oleh Calista. Ini adalah saat yang tepat untuk membalas semua ke-usilannya saat kecil dulu.

“Gue suka pake itu setiap habis olahraga buat buhuh bakteri setelah olahraga. Tapi itu bisa juga kok buat ngatasin gatel-gatel.” Kataku sambil menyodorkan sebuah salep yang ada di dashboard-ku. Aku melihat tatapan mukanya yang merasa canggung karena semua usahanya agar aku menjauhinya gagal. Aku baru sadar bahwa aku menaruh ipod-ku di mobil. Aku segera memasang lagu yang ada di ipod-ku untuk meredakan suasana sepi ini.

“Butik lo ada di mana?” Tanyaku untuk meredakan suasana canggung.

“Di Chadwick” Kata Calista. Ternyata dia butiknya ada di mall tempatku bekerja. Aku ingin sekali memberitahunya bahwa aku juga bekerja di sana, tapi aku mengurungkan niatku. Pasti akan sangat seru sekali melihat reaksinya saat dia tahu siapa aku sebenarnya nanti.

“Oh ya? Udah lama?” Tanyaku lagi berusaha bersikap friendly.

PixieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang