Chapter 15: White Lie

15.8K 1.1K 8
                                    

Aku menunggu di depan ruangan rumah sakit dengan khawatir. Kepalaku tidak bisa berhenti memikirkan keadaan papa. Beribu-ribu gambaran jelek sudah lewat di dalam otakku. Aku benar-benar berharap tidak ada hal jelek yang terjadi dengan papa. Semakin lama menungu, pikiranku semakin kacau. Aku sudah berkali-kali mecoba untuk menenangkan pikiranku tapi tetap saja tidak berhasil. Aku menatap pintu kamar papa berkali-kali. Sudah lebih dari dua jam, dokter masuk tapi dia belum keluar juga. Apa penyakit papa separah itu sehingga dokternya lama sekali ada di dalam? Papa tidak masuk ke dalam ruangan UGD, jadi seharusnya penyakit papa tidak kritis kan? Pikiranku kacau lagi. Aku benar-benar tidak bisa membaca situasi saat ini. Aku hanya bisa berharap bahwa papa baik-baik saja.

"Ta, tenang." Kata Francis di sebelahku. Dia menggenggam tangan dinginku untuk menenangkanku. Entah kenapa aku merasa dingin. Mungkin karena AC di rumah sakit ini benar-benar kencang, atau mungkin juga karena aku takut terjadi apa-apa dengan papa.

Aku sudah menyuruh tante Miranda, om Terry, kak Boy dan kak Feren pulang. Aku tidak tega menyuruh mereka menemaniku disini. Lagipula kak Renata sedang hamil. Tidak baik jika ibu hamil terlalu lelah. Apalagi ini sudah larut malam. Aku juga menyuruh kak Feren pulang karena dia pasti harus repot mengurus Kanna. Aku tidak enak menyuruh tante Miranda dan Om Terry terlalu lama disini. Lagipula mereka kan sudah berumur. Mereka pasti sudah cukup lelah setelah acara tadi. Aku sudah memaksa Francis pulang juga tapi dia bersikeras untuk menemaniku. Aku benar-benar berterima kasih dengan Francis yang bersedia menemaniku padahal acaranya belum selesai.

"Om Harry pasti ngga papa kok." Kata Francis. Dia memakaikan jasnya kepadaku. Aku baru sadar bahwa kami berdua masih memakai pakaian formal. Pantas saja dari tadi banyak sekali suster yang menatap kami dengan pandangan aneh.

"Thanks." Kataku pada Francis. Aku tahu dia pasti bermaksud untuk meredakan kekhawatiranku.

Setelah menunggu lebih dari satu jam akhirnya dokter keluar dari dalam ruangan tempat papa dirawat. Aku segera berdiri dan menghampirinya.

"Bagaimana keadaan papa saya dok?" Tanyaku ke dokter itu.

"Papa anda baik-baik saja. Operasi berjalan lancar." Kata dokter itu. Aku bernafas lega. Pikiranku sudah jauh lebih tenang setelah tahu papa baik-baik saja.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan papa saya dok?" Tanyaku penasaran. Berhubung aku berbicara dengan dokter yang menangani papa, sekalian saja aku tanyakan keadaannya.

"Bukan masalah yang serius. Sepertinya papa anda memakan benda yang tidak bisa dicerna sehingga makanan itu menyebabkan saluran pencernaannya buntu, tapi benda itu sudah dikeluarkan, jadi anda tidak perlu khawatir." Kata dokter. Aku lagi-lagi merasa lega. Ternyata papa hanya salah makan saja.

"Apa papa saya sudah bisa dijenguk?" Tanyaku.

"Iya silahkan." Kata dokter itu.

"Terima kasih dok." Kataku segera pergi masuk ke dalam ruangan tempat papa dirawat.

Aku melihat papa yang berbaring lemas. Dasar bapak tua itu. Selalu membuatku khawatir saja. Aku tidak pernah menyangka bahwa hobinya yang suka makan itu akan membuatnya masuk rumah sakit seperti ini. Aku segera menghampiri papa.

"Papa nih, kalo makan lain kali ati-ati kek." Kataku menceramahi papa.

"Kamu ih, orang papa baru selesai operasi udah diceramahin." Kata papa cemberut.

"Lagian papa sih rakus banget." Kataku mengatai papa.

"Enak aja rakus. Itu namanya menghargai makanan tau." Kata papa. Aku hanya bisa menggeleng-gelangkan kepalaku. Papa memang susah sekali dibilangi soal makanan.

"Ta, papa mau ngomong serius." Kata papa tiba-tiba. Muka papa memang terlihat serius. Aku jadi merasa takut segaligus penasaran. Sebenarnya apa yang ingin dibicarakan oleh papa? Apa dia mau memarahiku masalah laki-laki atau dia ingin membicarakan masalah penyakitnya?

PixieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang