8 • silent

821 57 19
                                    

"Zahra.."

"Siapa?"

"Kenal Tiara Azzahra? Anak IPA-1 yang pindah ke Kalimantan."

"Oh Zahra yang itu, kenapa? Lo pernah pacaran ama dia? Mantap gan bisa pacaran sama anak alim, pinter, cantik kayak dia." Puji Fatim.

"Apaansi dengerin dulu. Zahra dulu pernah deket sama gue, terus dia pindah karena ayahnya harus dinas di Kalimantan. Gak tau kenapa semenjak Zahra pindah hidup gue jadi beda gitu ada yang berubah. Sekarang udah gak pernah saling ngasih kabar lagi, dia berubah." Fateh menghela nafas panjang.

"Cewek emang kadang suka berubah. Berubah dalam banyak hal, entah kehilangan atau sudah bosan." Ucap Fatim yang membuat Fateh seakan mati rasa.

"Udah ah gausah ngomongin Zahra, dia itu cuman masa lalu, dan masa lalu itu gaperlu diungkit. Jadiin masa lalu itu sebuah pelajaran untuk masa depan." Ucap Fateh yang menurut Fatim adalah kata yang puitis.

"Asik, kalau masa lalu datang dan menanyakan jawab aja baik-baik saja, biar kelihatan bahagia walaupun gak sama dia." Balas Fatim dengan semampunya.

"Aku dan kamu. Dua insan berbeda yang saling cinta. Dengan diam, semuanya terbongkar. Dengan diam, semuanya terucap. Tak perlu sungkan untuk berkata bahwa aku suka kamu." Ujar Fateh sambil menatap awan biru yang tertata rapi diatas langit sana.

Fatim terdiam, tak percaya bahwa Fateh yang dibilang lelaki pendiam ini memiliki sisi puitis didalam dirinya, "ketauan suka liat quotes diinstagram ini."

"Engga."

"Wah anak senja nih pasti.".

" Engga juga."

"Anak apalagi yaallah, bantuin Fatim."

"Semua kata berawal dari hati."

Fatim membulatkan mulutnya setelah mendengar jawaban Fateh. Ia tidak sadar bahwa ice cream yang dipegangnya malah menjadi cair, buru-buru ia menyeruput ice cream tersebut sampai tak tersisa.

"Lo makannya masih kayak anak kecil ya, belepotan." Ejek Fateh sambil tertawa kecil ketika melihat cairan pink disekitar mulut Fatim.

"Nih tisu."

"Makasih." Ucap Fatim yang langsung mengambil dua helai tisu yang diberikan Fateh, dengan cepat ia mengelap sekitar mulutnya. Malu. Banget.

🥀

"Makasih ya buat waktunya."

"Iya sama-sama gue balik dulu ya." Fateh pamitan dan langsung pergi, Fatim hanya bisa menatap punggung Fateh yang makin lama tak terlihat, lalu pergi masuk untuk istirahat.

Entah mengapa semenjak kehadiran Fateh hidupnya sedikit lebih tenang. Dengan perhatian dan sebuah sarang yang pernah Fateh berikan, ia merasa nyaman dengan semuanya.

"Fatim, ngapain di situ terus? Masuk, udah malam." Ucap Adel yang mengintip dibalik pintu, ia melihat semuanya. Jujur Adel senang jika Fatim mulai perlahan melupakan Aska.

"Iya kak."

Fatim masuk dan berniat untuk beristirahat lalu makan. Jujur hari ini ia senang. Setelah beberapa hari ia mengenal Fateh ia merasa nyaman. Aneh. Fatim bukanlah tipe kenal langsung nyaman, tapi entah mengapa cara Fateh kepada Fatim berbeda dimatanya.

🥀

"Gewla, temen gue udah ada yang mulai move-on nih." Canda Naya, Fatim hanya tertawa seadanya.

"Dikit lagi kita makan-makan gratis nih Nay, kapan nih tanggalnya?" Ledek Dhea yang menurut Fatim terlalu apa gitu. Ia tak pernah kepikiran akan sejauh itu dengan Fateh. Ia juga trauma punya hubungan dengan lelaki.

"Apaansi njir, gak sampe gitu juga. Ingat jalan doang bukan berarti jadian, deket bukan berarti suka."

"Gayakin gue lo gak suka sama Fateh, secara senyam-senyum sendiri kalau diajak jalan haha." Balas Dhea. Dan kini Fatim hanya terdiam, menyadari betapa senangnya jika Fateh mengajak jalan.

Fatim tak tahu apa yang terjadi didirinya. Beberapa akhir ini ia seperti senang dan seperti membutuhkan Fateh untuk berada disisinya. Perasaan aneh, ia tak siap untuk mencintai dan tersakiti lagi. Mungkin cara tersakiti yang ini berbeda, tapi sama saja judulnya 'menyakiti'. Tapi apakah Fateh benar-benar akan menyakitinya?

"Ga semua cowo bakal nyakitin lo Fatim, apa salahnya si buka hati buat orang yang baru?" Pernyataan Dhea seperti ia tahu apa yang sedang Fatim pikirkan.

"Eh apaansih? Kok jadi ngomongin Fateh." Elak Fatim salah tingkah, ia menyeruput kembali es yang ia pesan, lalu tidak menghiraukan teman-temannya yang tertawa.

Sungguh, jika mampu ia ingin menghilangkan semua perasaan aneh ini. Ia tak ingin terlena jika Fateh memberikannya perhatian lebih, tidak ingin terlarut dalam kesenangan jika Fateh mengajaknya untuk sekedar jalan-jalan. Menyusahkan.

"Gak salah kok kalau suka sama orang, lo nyaman sama dia? Yaudah, perasaan gabisa dipaksa apalagi ditunda." Tutur Naya, dan Fatim rasa Dhea dan Naya baru saja dikarunai bisa membaca pikirannya.

Tak terasa bel sudah berbunyi tanda istirahat telah usai, semua yang ada diluar kelas langsung berhamburan untuk kembali ke-kelasnya. Ketiga sahabat ini, langsung tergesa untuk kembali ke kelas, karena pelajaran setelah ini akan diajarkan oleh guru yang benar-benar killer katanya.

"Buat pengurus OSIS dan pengurus untuk pentas seni harap segera menuju ruang rapat terimakasih."

Sebuah pernyataan sederhana yang keluar dari mulu sang ketua OSIS, akhirnya ia terbebas dari pelajaran Pak Heru, ia langsung melambaikan tangan kepada temannya dan pergi menuju ruang rapat untuk mendengarkan semua ide-ide atau saran yang ketua OSIS berikan.

"Fatim."

Suara yang tak asing, suara cempreng milik Deva ini memang mudah sekali dikenali. Fatim langsung diam dan menoleh, dilihatnya Deva dengan menenteng handphone di tangannya, ia berjalan menghampiri Fatim. Syukurlah anak OSIS dikelasnya tak hanya Fatim, tapi ada Deva dan juga Ratu.

"Gak bareng sama Aldo Dev?"

Deva tertawa, pernyataan yang ingin sekali terjadi. Deva dan Aldo dekat ketika ada proyek atau tugas bersama dari OSIS ataupun yang lainnya. Kedua tak sekelas dan tak satu jurusan. Deva IPA Aldo IPS.

"Amin, do'ain biar jadi sama Aldo hahaha." Ujar Deva diselingi tawa, Fatim hanya mengangguk dan ikut tertawa kecil.

Tak terasa, ruang rapat sudah didepan mata. Ramai sekali para panitia atau anak OSIS lainnya, semuanya mengobrol seperti biasa, duduk di bangku meja bundar, ini adalah hal biasa ketika acara atau apapun sedang terjadi. Fatim suka ruangan ini, ruangan sederhana dengan kesejukan yang pas serta design yang menurutnya enak untuk dipandang.

"Fatim." Suara yang selama ini menghantuinya, suara yang sedikit ia rindukan, Fatim menoleh dilihatnya Fateh sudah duduk di sampingnya dengan senyum yang menampilkan deretan gigi yang putih.

"Kenapa?"

🥀

hallow-!

udah lama ya ampun aku ga update, maapin wkwkwk. Gatau kenapa ni ide aku melayang kemana-kemana buat bikin cerita baruu, heem maap yaww.

aku rasa nge down pas lihat vote sama readersnya jauh bangettt, gatau kenapa wkwkwk. Aku juga kemarin off karena PTS, gimana ni hasil PTS kalian coba comment:)

aku bakal lanjutin chapter nya pas vote nya dah 100 yaa, hehehe see you in next chapter.

oiya jangan lupa follow IG aku nii, promosi dikit wkwkwk @nlanelaa dilike juga, tar di like back kok gesss.

-nai.

SILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang