Part 32. Maaf

25.1K 2.8K 441
                                    

"Sia---" Moza menggantungkan kalimatnya melihat siapa yang berdiri di depannya, Aldrik--mantan suaminya-- berdiri menatapnya datar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sia---" Moza menggantungkan kalimatnya melihat siapa yang berdiri di depannya, Aldrik--mantan suaminya-- berdiri menatapnya datar. Moza hendak menutup pintu apartemen namun pria itu sigap menahan dengan tangannya.

"Apa yang kau lakukan?!" ketus Moza menarik pintunya.

"Aku mau bicara."

"Nggak ada yang perlu dibicarain jadi pergilah!"

"Kamu pikir selamanya bisa menghindar?" sentak Aldrik. Moza membeku membiarkan pintu terbuka lebar. "Senggaknya aku bisa dengar dari mulutmu sendiri Moza, jadi tolong jangan menghindar lagi, aku rasa kamu nggak sibuk di luar jam kantor, bukan?"

Moza membuang muka ke samping tak ingin melihat wajah mantan suaminya itu.
Seminggu terakhir Aldrik memang sering ke kantornya mengajak Moza bertemu, tetapi Moza selalu menghindar berpura-pura sibuk, bahkan teleponnya saja tak pernah Moza angkat, ia tahu maksudnya pria itu.

"Jangan lakukan." Moza mendongak menatap Aldrik. "Meski kamu tau, semuanya nggak akan berubah. Jadi kuharap sebaiknya kamu berpura-pura seolah nggak tau apa-apa." Moza kalut.

"Bagaimana bisa kau lakukan ini padaku?! Aku berhak tau tentangnya!" Aldrik merasa Moza keterlaluan. Bagaimana bisa wanita itu memintanya bersikap seolah ia tidak tahu apa-apa disaat ia tahu kebenaran yang selama ini tidak ia ketahui?

"Kamu berhak?" ulang Moza meradang. "Aku rasa kamu lupa Aldrik, semenjak kamu menalakku saat itu juga kamu nggak punya hak apa pun lagi!" telak Moza membuat Aldrik tertohok.

Kedua tangan pria itu terkepal dengan rahang mengeras menatap Moza merasa bersalah. "Moza, aku tau aku salah. Aku nggak tau kalau saat itu kamu ham---"

"Kalau tau aku hamil apa kamu nggak akan ninggalin aku?"

Adrik kembali terdiam, Moza menatap Aldrik dengan tatapan emosi bercampur luka yang masih tertoreh di dalam sana. "Kalau pun aku kasih tau kamu semuanya nggak akan berubah. Kamu akan tetap ninggalin aku demi dia, lalu apa bedanya?"

"Apa bedanya?" Aldrik menghela napas kasar tanpa mengalihkan mata dari mantan istrinya.  "Sebrengsek-brengseknya aku, aku nggak akan pernah ninggalin wanita yang mengandung anakku."

"Benarkah?"

Moza menyilangkan kedua tangan terkekeh sinis, merasa lucu dengan perkataan Aldrik. Tidak akan meninggalkannya? Siapa yang tahu? Siapa tahu saja saat itu dia tetap meninggalkannya hanya demi bersama cinta pertamanya yang begitu dia cintai sampai-sampai Moza yang telah memberinya anak tak bisa mendapatkannya.

"Siapa yang akan percaya?"

"Moza."

"Jangan panggil namaku seperti itu!" peringatnya lantang. Aldrik mengangguk paham. "Pergilah!" Moza berbalik menutup pintu tapi lagi-lagi Aldrik menahannya.

"Moza jangan lakukan ini!"

"Apa yang aku lakukan?!" lantang Moza emosinya mulai tersulut. "Apa kamu belum puas pisahin aku dengan putraku selama ini? Apa kamu belum puas hidup bersama istri dan anak dari istrimu dengan pria lain itu hingga kamu datang mengusik kehidupanku dan putriku yang berharga?!"

ZOYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang