Seoul, 22 Juli 2016
Sepanjang jalan dalam kebimbanganMemulai langkah berpijak pada hamparan jalan yang lengang. Pagi bersambut dengan udara dingin ganas menusuk tulang. Aktifitas belum terlalu ricuh terlihat. Hanya beberapa orang yang baru muncul meraup segarnya udara di pagi buta.
Satu persatu langkah terayun penuh semangat. Hoodie tebal berwarna putih gading ia rekatkan. Menghalau dingin yang selalu merusak suasana. Jungkook, berangkat sekolah berjalan kaki dari rumahnya.
"Sial! Ramalan cuaca semalam tidak bohong, dingin sekali pagi ini," Umpatnya sendiri.
Tak ada kendaraan yang bisa ia gunakan. Mobil akan selalu ada jika saja ia meminta dari sang Ayah. Belum boleh berkendara sendiri memang. Tapi ia bisa menyewa sopir dan itu akan menjadi urusan Kim Hwan. Tapi Jungkook berbeda jauh dengan sang kakak.
Terlalu lama hidup dalam kesederhanaan, membuatnya canggung jika mendadak harus menjadi Tuan Muda. Mentalnya hanya belum siap menghadapi hujatan orang. Jadi lebih baik, hidup seperti ini dulu sementara waktu. Selagi menyembuhkan luka hati karena goresan ingatan masa silam yang hampir membeku.
"Oi bocah, berhenti!"
Ia tak mendengar, suara geram yang menggema di keheningan pagi buta. Sebuah earphone menyumbat indera pendengarannya. Lantunan melodi lembut menguasai rongga telinga. Membuatnya tak peduli dengan keadaan sekitar.
"B*jing*n kecil ini!!"
Sebab panggilannya tak diindahkan, sosok asing yang sedari tadi berdiri bersandar ruko yang masih tutup, bergerak seketika. Kakinya melangkah sangat lebar menjangkau Jungkook yang telah berlalu beberapa langkah darinya.
Dengan lengan tangan yang kuat, ia sigap meraih pergelangan Jungkook. Membuat pemuda itu tersentak kaget. Lalu earphone di telinganya terlepas seketika. Saat itu pula tubuhnya terputar 180 derajat dari arah semula.
"Aack!!" Pekik Jungkook menahan rasa kejut yang mendadak.
"Sudah seberani apa kau, sampai mengabaikan ku?" Lagi, pria itu menggeram penuh ancaman.
Ia mencengkeram leher Jungkook dengan lengan satunya. Tubuh Jungkook mendadak kaku seketika. Sepasang mata bulatnya membelalak terlalu lebar. Terkejut bercampur sirat ketakutan. Tubuhnya gemetar dalam hitungan detik berikutnya.
Jungkook ingin berontak. Jungkook ingin berlari sejauh yang ia bisa. Lepas dari jerat orang ini. Lalu bernafas bebas. Sayangnya, itu hanya harapan yang harus ia lupakan.
Kenyataan yang terjadi, ia masih dalam posisinya semula. Satu tangannya di genggam kuat. Lehernya di cengkeram hampir tercekik. Jalan nafas seolah tersumbat.
Jantung pun berdegub lebih kencang. Mata tak berkedip sama sekali. Ini bukan reaksi normal untuk orang yang hanya sekedar kaget saja.
"Haagh!! Aagh!!" Jungkook tak mampu mengeluarkan suara.
Senyum seringai terukir mulus di wajah kusam si pria. Saat menyaksikan Jungkook berusaha untuk berteriak tapi gagal. Membuatnya semakin ingin mempermainkan. Getar tubuh anak itu bahkan sampai tersalur ke lengannya.
"Takut? Apa kau masih takut pada ku Nak?"
"Lep-ash," Bisik Jungkook terlalu lirih untuk di dengar.
Sepasang mata berhawa memburu itu asik berkutat dengan Jungkook. Memindai si bocah dari ujung bawah sampai pada mata mereka akhirnya bertemu pandang. Wajah putih Jungkook sudah berubah kemerahan. Pertanda ia mulai kekurangan udara dalam rongga parunya.
"Kau masih selemah ini? Cih!"
Cengekramannya di leher Jungkook ia lepaskan begitu saja. Jungkook yang tak siap, membuatnya jatuh bersimpuh. Kedua lutut terasa begitu lemas. Ia terbatuk beberapa kali, lantaran udara yang berebut masuk ke tenggorokannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Presences (Vkook / Brothership)
Fiksi PenggemarSelalu ada alasan berbau takdir dalam setiap pertemuan. Tersadari atau terabaikan jalinan takdir terus bergulir. Seiring dengan denting waktu yang tak pernah terhenti. Menanjak, menuju sebuah spiral konflik yang menghubungkan segala ujung benang tak...