8. Senandung Cinta

5.4K 565 65
                                    

Seoul, 28 Agustus 2019
Daeshin Medical Center, VIP 507

Terkenang kembali sebuah masa dimana aku dan dia merindukan sebuah pertengkaran. Ketimbang sunyi dalam diam, akan lebih baik jika ada suara yang terdengar. Walaupun itu akan berujung pada perdebatan. Setidaknya dia memberikan aku ruang dan kesempatan.

Tiga hari yang lalu, aku begitu bahagia tak terkira. Kala ku lihat kelopak mata yang tadinya terpejam erat, dingin dan seolah enggan terbuka, mendadak mengerjab. Diiringi dengan sapaan ibu ku. Memberikan ucapan selamat datang padanya dengan sangat hangat.

Saat itu aku merasa ada sesuatu yang lebur dan membuat rongga dada ku lega. Untuk yang pertama kalinya aku tersenyum sangat lebar. Setelah sekian ratus malam tenggelam dalam kesuraman. Hanya dengan melihat kerlingan lemah bola mata adik ku tersayang.

Itu tiga hari yang lalu, dan kebahagiaan ku tak berlangsung lama. Adik ku masih ada di sana. Di dalam kamar rawatnya. Adik ku masih terbaring dengan tumpukkan alat-alat medis yang belum terlepas dari tubuhnya. Namun, bukan itu yang membuat ku terluka.

Tidak, aku tidak terluka, ku ralat ucapan ku barusan. Tidak seharusnya aku menyebut rasa sakit dalam hati ini adalah luka. Adik ku tidak berbuat apa-apa. Mana mungkin sampai menorehkan luka. Dia hanya sekedar menatapku penuh dendam. Hanya seperti itu dan sakit sekali rasanya.

Sakit ini berasal dari penyesalan yang belum termaafkan. Sakit yang akan aku tanggung sendirian entah untuk berapa lama. Sampai akhirnya dia mengulurkan tangan. Lalu meminta ku untuk datang mendekat. Dan membiarkan ku memberikan penjelasan padanya. Mungkin itu yang bisa membuat ku lega.

Tapi yang terjadi, dia bahkan enggan untuk ku dekati. Tak mau ku tolong ketika membutuhkan bantuan orang lain. Tak sudi menatapku dengan mata cantiknya yang dulu selalu penuh binar berseri.

Jadi, bagaimana caranya agar aku mendapatkan kesempatan memberikan penjelasan padanya atas kesalahan yang telah ku perbuat?

Berdiri di depan pintu kamarnya. Mencuri lihat aktifitas di dalam lewat secuil kaca yang terpasang di pertengahan daun pintunya. Tanpa bisa mendengar apa yang mereka bicarakan di dalam sana. Senyum tipisnya membuat ku sedikit lega. Hanya sebatas ini aku bisa mendekatinya.

Aku tak peduli dia akan tersenyum dengan siapa dan atas sebab apa. Aku tak harus menjadi sumber kebahagiaannya. Asalkan dia selalu memiliki senyum seperti itu di wajahnya. Sudah lebih dari cukup bagiku sekarang. Setidaknya beban dalam hati ku sedikit berkurang, 0.01%.

“Paman Park,” Ku tahan lengan dokter yang baru saja keluar dari kamarnya.

Visite rutin yang akan selalu dokter itu lakukan. Beliau yang bertanggung jawab atas perawatan adik ku selama ini. Seorang dokter spesialis hemato ongkologi medik. Juga ayah dari sahabat baik ku, Park Jimin.

Paman Park, berbalik menarik lengan ku. Memelukku dengan erat. Menabahkan hati ku dengan tulus. Usapan tangannya di punggungku beberapa kali adalah pertanda sesuatu yang fatal baru saja terjadi.

“Ada apa Paman? Tolong katakan kondisinya membaik,” Pinta ku padanya. Aku tak siap jika harus mendengar kabar buruk dari adik ku lagi.

“Jangan cemas Tae, jangan khawatir, everything’s gonna be okay,”

Sama sekali tidak paham dengan maksud Paman Park. Mengapa mendadak memelukku. Bahasa tubuhnya seolah memberi ku sinyal agar aku lebih menguatkan hati. Tapi untuk apa semua itu. Adik ku akan sembuh kan? Dia tidak akan pergi kemana pun kan?

Paman Park, tolong…

“Kondisinya terus mengalami peningkatan, ada kemauan untuk bertahan hidup lebih lama, setidaknya itu satu berita baik untuk sekarang, di bandingkan saat-saat sebelum ia coma yang sama sekali tidak ada keinginan untuk bertahan,” Sambungnya.

Dearest Presences (Vkook / Brothership)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang