4✓

72 23 20
                                    

Ternyata aku salah menilai Sarmini. Terlepas dari kenyataan bahwa Sarmini adalah hantu, ia lebih seperti gadis remaja normal seusiaku yang gemar berdandan dan bergosip. Ia bisa menghabiskan waktu enam jam dalam sehari untuk mematut diri di depan cermin.

Ia juga mengenal Nabila. Yang membuatku cemberut, ia selalu memuji betapa cantiknya Nabila dan bertanya bagaimana ia bisa secantik gadis itu. Padahal dia sendiri lebih cantik dari Nabila.

Malamnya, Sarmini bercerita panjang lebar mengenai seluruh pengghuni rumah tiga lantai ini. Ia menceritakan mereka satu per satu secara detail. Untung ia tidak menceritakan banyak hal tentang Nabila.

Yang kubenci dari Sarmini adalah sekali ia bercerita, ia tidak akan berhenti. Tidak ada kesempatan bagiku untuk menyela. Jika aku mengucapkan satu kata saja selama bercerita, ia akan protes dan menuduhku tidak mendengarkan. Ia begitu mirip dengan Ibu.

Namun, dengan mendengarkan ceritanya, aku jadi merasa sedikit berharga. Sarmini sudah bertahun-tahun menghuni kamar ini dan tidak mempunyai teman untuk diajak bicara. Ada hantu lain di garasi, tetapi mereka selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Ia pernah satu kali mengajak ngobrol Mbok Minah. Namun wanita patuh baya itu langsung ketakutan begitu melihat wujud Sarmini. Hanya aku satu-satunya teman bicara yang ia punya.

"Ya, gitu deh, aku kesepian. Makanya aku bersyukur banget kamu ada di sini," ungkapnya.

Karena mendengar cerita panjang lebar itulah aku sering tidur larut malam. Cerita Sarmini baru berhenti ketika jam gantung di sebelah kamarku berdentang dua belas kali. Itu menandakan bahwa waktu sudah memasuki dini hari, pukul 00.00. Sarmini akan mendecak kesal karena ceritanya terputus di tengah jalan.

"Udah dulu, ya. Ada urusan mendadak nih," ucapnya. Setelah berkata demikian, ia akan melayang menembus jendela kamarku yang tertutup. Sosoknya mengabur di tengah gelapnya malam.

Saat itulah aku bisa terbebas dari Sarmini. Selama seminggu ini, aku baru berangkat tidur ketika waktu menginjak dini hari. Aku tidak tahu ke mana Sarmini pergi. Toh, aku pun tidak peduli akan hal itu. Yang penting, setiap Sarmini pergi, aku bisa tidur nyenyak tanpa harus melihat sosok aslinya dalam mimpiku.

***

Aku duduk terantuk-antuk di bangku. Penjelasan mengenai peraturan sekolah dan lain sebagainya yang diujarkan oleh Bu Sofi, wali kelasku, mengabur dalam kepala. Hari ini adalah hari terakhir MPLS. Tugas OSIS diambil alih oleh wali kelas hari ini. Setelah melakukan pendaftaran, tes, dan pembayaran ini-itu, aku akhirnya diterima di sekolah pilihan ibuku ini. Berdasarkan hasil tes penempatan kelas, aku ditempatkan di kelas X-B, salah satu kelas unggulan. Namun aku sama sekali tidak bahagia dengan semua itu. Terutama, karena ini semua bukan atas kemauanku sendiri.

Bu Sofi meninggikan suaranya sehingga aku terkesiap. Untungnya Bu Sofi tidak menegurku atau bahkan menghukumku. Penjelasan Bu Sofi mengenai kawasan sekolah berlanjut. Menurutku, itu tidak berguna. OSIS sudah terlebih dulu mengajak para siswa baru berkeliling di lingkungan sekolah, jadi kami sudah tahu apa saja yang ada di sekolah ini.

"Kegiatan belajar mengajar akan dimulai minggu depan," ucap Bu Sofi, menutup penjelasannya. "Ada yang ingin ditanyakan?"

Beberapa anak mengangkat tangan dan bertanya. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka tanyakan. Paling itu hanya pertanyaan mengenai berapa lama waktu belajar dan lain-lain. Aku lebih tertarik memperhatikan langit yang mendung seperti biasa. Itu lebih baik daripada harus memperhatikan Bu Sofi berlama-lama. Ada seorang bocah plontos yang hinggap di punggungnya. Bocah itu memerhatikanku daritadi dan aku semakin merasa tidak nyaman.

"Terima kasih atas pertanyaannya, Adelia. Kamu, Ficky?"

"Ada hantu di punggung Ibu."
Aku sontak menoleh ke arah anak bernama Ficky itu. Ia tampak seperti pemuda biasa. Kacamata tersemat di wajahnya dan rambutnya tampak berantakan.

Hening tercipta setelah ia berkata demikian. Sesaat kemudian, seisi kelas tertawa. Bu Sofi mengulum seulas senyum tipis meski wajahnya pucat pasi.

Hantu berwujud bocah plontos yang menggelayuti punggung Bu Sofi menatap Ficky sinis. Sesekali, mulut lebarnya yang dipenuhi gigi-gigi tajam itu mendesis. Tangannya mencekeram leher Bu Sofi. Wali kelasku itu meringis kesakitan sembari memegangi lehernya. Tawa seisi kelas berubah menjadi teriakan panik. Ficky beranjak dari bangkunya dan berlari menghampiri Bu Sofi. Ia menepuk punggung Bu Sofi sembari mengucapkan kalimat-kalimat aneh. Hantu itu nampak kesakitan. Sosoknya menghilang tak lama kemudian.

Bu Sofi pingsan. Seisi kelas bertambah panik. Semua siswa berhambur mengelilingi Bu Sofi. Mereka menyuruh Ficky menjauh. Ada yang sampai menuduh Ficky mencelakakan Bu Sofi. Beberapa anak membopong tubuh Bu Sofi menuju UKS. Seluruh kelas menyalahkan Ficky atas insiden ini. Aku bahkan melihat salah satu anak mengancam akan melaporkan Ficky ke BK. Padahal, Ficky telah menyelamatkan Bu Sofi dari belenggu hantu itu.
Namun, Ficky tampaknya tidak banyak bicara. Aku lihat, ia mengangguk saja bila ada anak yang mengancamnya ini-itu. Wajahnya terlihat begitu tenang.

Tak berapa lama kemudian, Ficky dipanggil ke ruang BK lewat pengeras suara. Pemuda berkacamata itu berjalan dengan langkah pasrah ke luar kelas. Sebelum itu, ia sempat menoleh padaku. Tatapannya seperti menyalahkanku.

Jantungku seolah berhenti berdetak saat mulutnya bergerak mengucapkan, "Aku tahu kamu bisa melihat mereka."

Alois (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang