2✓

120 36 54
                                    

Aku mematut di cermin begitu lama. Mataku bengkak, pasti akibat menangis semalaman. Seandainya jarak Surabaya dengan rumah ini hanya sejengkal jari, aku pasti akan kembali ke rumah Tante Tri.

Apa yang tadi dikatakan Nabila? Pembantu? Cih! Apa Om Hendro tidak pernah mengajarkannya sopan santun? Apa penampilanku sebegitu buruknya hingga aku tampak seperti pembantu?

Gadis sialan!

Mentang-mentang dia cantik, dia pikir bisa berkata seenaknya?

Mulutku bergerak, memaki-maki bayanganku. Mataku membulat dan mengecil secara bergantian. Sisirku beberapa kali tersangkut karena rambutku begitu kusut. Aku menariknya ke bawah dengan kesal. Sakit. Beberapa helai rambutku patah, tersangkut di sela-sela sisir. Memalukan.

Aku memperhatikan bayanganku lebih saksama. Aku memang tidak secantik Nabila. Kulitku cokelat sawo matang. Kakiku tidak jenjang seperti kakinya. Kaki ini pendek, kurus, dan terlihat menyedihkan dengan sejumlah bekas luka di beberapa bagian. Wajahku sama sekali tidak manis. Hidungku yang pesek tampak tenggelam dalam dua gumpalan pipi yang tembam. Alisku teramat tipis, bahkan hampir tidak ada. Bulu mataku lurus, kecil, dan sama sekali tidak lentik seperti milik Nabila. Mataku juga tidak sebesar dan seindah miliknya. Mata ini agak sipit dan tampak mati. Lingkar hitam di sekitarnya semakin memperburuk penampilanku. Dan yang paling parah, sudah dapat ditebak, rambutku. Tak peduli beberapa kali pun bersisir, rambutku tak pernah rapi. Tante Tri bilang, sebenarnya rambutku indah jika dirawat. Namun sebagus apa pun produk perawatan rambut yang aku pakai, rambutku tetap tidak berubah.

"Hei, sudah puas berkaca?"

Aku sontak terjengkang. Untung saja tubuhku mendarat mulus di kasur. Apa yang baru saja kulihat membuat jantung mau copot rasanya. Bayangan seorang perempuan dengan kepala yang hangus dan leher yang terpelintir terpantul di cermin. Matanya hampir copot. Lidahnya yang panjang menjulur keluar. Kamar ini berhantu. Sialan!

Hantu itu kini berdiri di depanku, membelakangiku tepatnya. Ia memandangi wujudnya di cermin begitu lama. Beberapa saat kemudian, penampilannya berubah. Kulit wajahnya yang gosong menjadi kuning langsat. Matanya besar, tetapi mata itu tidak tampak melotot seperti sebelumnya. Mata itu indah, bahkan lebih indah dari milik Nabila. Alis tebal dan bulu mata lentik yang tampak alami membuat mata itu terlihat sempurna. Rambutnya panjang sampai menyentuh lantai. Namun, sungguh membuat iri, rambut itu hitam mengkilat, tampak lembut dan terawat.

"Kalau begini, kamu tidak takut, kan?" tanyanya.

Ia berbalik, tersenyum padaku. Untuk sesaat, ia tampak seperti artis ibu kota yang aku kenal. Namun, pemikiran itu kutepis begitu mengingat wujud aslinya. Bagaimanapun, dia adalah hantu dan hantu adalah musuh manusia. Tidak ada hantu yang baik. Mereka akan menjebakmu dalam wujud palsu mereka. Ketika kau lengah, mereka akan memakanmu, mengambil tubuhmu seenaknya, dan menggunakannya untuk mencapai tujuan mereka. Tentu saja itu bukan tujuan yang baik.

Aku menciut di tepi kasur. Hanya guling perlindunganku. Itu tidak cukup tentunya. Sebisa mungkin aku mengucapkan ayat-ayat suci yang aku hafal. Tante Tri yang mengajarkan hal itu padaku. Namun, tampaknya usahaku sia-sia. Bukannya kepanasan, hantu itu malah mendekat padaku.

Aku berteriak sembari melemparkan apapun yang berada dalam jangkauan tanganku ke arahnya. Itu juga sia-sia. Segala benda yang kulemparkan justru menembus tubuhnya. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengusirnya. Tentu saja. Jika ayat-ayat suci tidak mempan, maka yang harus aku lakukan adalah ... lari!

Terlambat. Hantu itu kini telah berada tepat di depanku. Mata besarnya yang indah itu mengunci pandanganku. Rambutnya menguarkan harum melati yang membuat bulu kudukku berdiri. Mulutnya ditarik ke belakang, membentuk sebuah seringai tipis. Aku menelan saliva. Kupejamkan mata sembari berharap sosok hantu itu menghilang begitu membuka mata lagi. Namun ternyata, aku masih bisa melihatnya meskipun sudah menutup mata. Bahkan yang kulihat adalah sosok aslinya. Segera saja aku membuka mata dan mendapati tangan hantu itu kini telah terulur di depanku.

Alois (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang