13✓

50 13 4
                                    

Nabila memungut benda-benda yang terjatuh di lantai, kemudian meletakkannya di meja rias. Aku menatapnya bingung. Ada apa dengannya? Mengapa ia bersedia repot-repot membersihkan kamarku?

Sarmini berdiri. Mungkin hendak membantu Nabila memungut benda-benda yang tadi di lantai. Namun aku segera menahannya. Tidak lucu kalau Nabila sampai pingsan lagi karena melihat benda-benda itu melayang sendiri.
Aku turun dari kasur, memungut beberapa benda, dan meletakkannya kembali ke meja rias. Figura kuletakkan di sisi kiri. Nabila melirik figura itu sekilas. Ia seperti hendak bertanya, tetapi kemudian urung mengutarakannya.

"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan padaku??" tanyaku, masih dengan nada yang terdengar tidak ramah. Meski hari ini Nabila bersikap baik padaku, siapa yang tahu kalau nanti sikapnya berubah lagi. Bisa jadi kalau sikapnya hari ini hanya pura-pura.

Nabila tercenung. Setelah meletakkan pelembap wajah di meja rias, ia menunduk. Tak lama kemudian, ia memandang wajahnya sendiri di cermin, lalu beralih memandangku.
"Aku bingung mau memulai dari mana. Tapi untuk pertama-tama, aku ingin berterimakasih padamu."

Aku mengernyit. Baru kali ini aku mendengar ucapan terima kasih dari Nabila. Apa ia masih dalam keadaan sadar ketika aku datang dan menolongnya dari kutukan wanita bergaun hitam itu? Apa itu artinya dia juga dapat melihat wanita itu?

"Kalau kamu tidak datang kala itu, mungkin aku sudah...." Nabila menunduk lagi, memandang lantai keramik kamarku seolah ingin mencurahkan bebannya di sana. .

"Kamu melihat wanita bergaun hitam itu?" tanyaku, hanya ingin memastikan.

Alois mendekat, memerhatikan aku dan Nabila lebih saksama. Sarmini memalingkan wajah, tampak sebal setelah aku menyebut 'wanita itu'.

Tangan Nabila gemetar. Wajahnya tampak ketakutan. Ia memandangku lagi. Tatapannya membuatku ingin lari dari kamar. Gadis kecil ini tampak menderita. Netra cokelatnya itu mengecil. Sosok cantiknya hilang entah ke mana. Nabila yang berada di hadapanku kini tak lain adalah gadis yang menderita dan tampak menyedihkan.

"Iya," ucap Nabila lirih. Suaranya agak serak. Tangisnya pecah tak lama kemudian. "Aku melihatnya! Aku melihatnya dalam setiap mimpiku! Wanita itu selalu menghantui malam-malamku!"

***

Nabila masih terisak di atas tempat tidur. Alois dan Sarmini sama-sama terdiam, tak berani berkutik. Aku menepuk-nepuk bahu Nabila, menenangkannya. Apa yang ia ceritakan membuat dahiku berkernyit.

"Berhentilah menangis, Nabila" ucapku lembut. "Wanita itu sudah pergi."

Nabila tidak membalas. Ia mendongak dan menatap yang ada di belakang punggungku. Matanya membesar seketika. Ia beringsut mundur. Tubuhnya hampir saja terjatuh ke lantai jika aku tidak segera menarik tangannya.

"Mereka!" teriak Nabila sembari menunjuk sesuatu di belakangku.

Aku menoleh ke belakang. Sarmini dan Alois hanya menggelengkan kepala ketika aku menatap mereka. Tumben mereka akur. Aku menghela napas. Ingin sekali aku berkata, "Kalianlah yang membuat Nabila ketakutan, bodoh!". Tapi kalimat itu urung aku ungkapkan.

Lalu, aku pun menyadari sesuatu. "Kamu bisa melihat mereka?" tanyaku.

"Mereka yang ada di belakangmu. Mereka itu ...."

Aku tersenyum. "Mereka teman-temanku, Sarmini dan Alois."

"Kamu berteman dengan hantu?" tanya Nabila sembari terbelalak.

Aku mengangguk.

"Ternyata benar dugaanku."

"Kamu tahu kalau aku bisa melihat mereka?"

"Kamarmu berselahan dengan kamarku. Tentunya aku mendengar semua pembicaraanmu dengan mereka. Awalnya, aku kira kamu sedang menelepon. Tapi kamu, kan, tidak punya teman."

"Enak saja!" sergahku. Aku mengambil ponsel dan membuka beberapa kontak. Lalu, aku menunjukkannya pada Nabila. "Nih, ini teman-temanku kalau kamu nggak percaya."

Ia membaca nama kontak itu satu per satu. "Fick ... ky ...?"

Begitu sampai pada nama itu, aku meraih ponselku kembali dan mematikannya. Nabila telah membaca seluruh nama anggota Klub Sastra yang menjadi korban wanita bergaun hitam itu. Aku merasa tidak nyaman ketika nama mereka bergaung di telingaku. Aku merasa bersalah atas apa yang menimpa mereka. Bodohnya aku. Seharusnya aku tak begitu saja memperlihatkan pada Nabila isi kontakku dan membiarkan membaca nama mereka satu per satu.

"Apa ada sesuatu yang terjadi pada teman-temanmu?" tanya Nabila. Di luar dugaan, ternyata gadis ini cukup peka.

"Mereka adalah korban wanita bergaun hitam itu, sama sepertimu."

Mata Nabila melebar. "Jadi, aku bukan satu-satunya?"

"Bukan. Dia sudah lebih dulu menyerang Ficky sebelum Alois dapat menyelamatkannya."

Nabila memandang Alois. "Anak sekecil itu? Tentu saja tidak bisa."

"Jangan sembarangan, ya! Begini-begini aku kuat, lho. Eh, kenapa kamu tidak takut lagi?" ucap Alois.

Aku ingin tertawa.

"Apa benar?" Mengabaikan Alois, Nabila beralih memandangku.

Aku mengangguk. "Dia adalah hantu yang paling ditakuti para indigo di sekolah."

"Lalu, kenapa kamu berteman dengan makhluk berbahaya seperti itu?" tanya Nabila sembari menunjuk Alois yang cemberut.

"Ah, Ceritanya panjang."

JDAAAR!

Suara petir terdengar bersamaan dengan kilatan cahaya yang terlihat dari jendela kamarku. Aku tersentak begitu merasakan sesuatu yang berbau negatif. Segera saja aku berjalan ke jendela dan menatap langit.

Mendung menguasai langit. Kegelapan terasa menusuk. Aura negatif terasa semakin ketat. Di langit, aku melihat kilatan cahaya merah. Cahaya merah itu berubah menjadi pusaran gelap bulat. Segala kegelapan berkumpul dalam pusaran itu.

Aku menoleh ke arah Nabila, Alois, dan Sarmini dengan wajah cemas. "Ini gawat."

"Ada apa?" tanya Nabila sembari mendekat padaku dengan wajah ketakutan.

Sarmini memalingkan wajah dariku, tangannya terlipat di depan dada. Sikap kunti yang satu itu semakin aneh saja.

Alois mengerutkan dahi. Kecemasan timbul di wajah pucatnya. Mata birunya menatapku begitu dalam. "Ariza, kita terlambat. Wanita itu sudah bergerak duluan."

Bersambung....

Fyuuh... akhirnya USPBKS berakhir juga hari ini. Dua minggu lagi UN gaess. Semangat! 😂😂 Gak kerasa Alois sudah sampai di bab 13. Tinggal nyiapin bab 15 soalnya bab 14 sudah masuk ke draf heheh...

Rencananya cerita ini mau saya akhiri di bab 20. Doakan semoga gak molor. Masih ada waktu 2 minggu lebih sebelum saya jadi manten, eh, UN maksudnya. Semoga masih bisa menyempatkan menulis cerita ini dan cerpen untuk lomba. Tiga minggu kemudian, saya honeymoon, eh, maksudnya UTBK. Mohon doanya, ya, para Readers sekalian! 😁😁

Terima kasih untuk kalian yang setia membaca Alois sampai di titik ini. Saya mohon dengan sangat kritik dan saran kalian untuk memperbaiki cerita ini ke depannya. Sekian, semoga kalian menikmati chapter ini. Nantikan Alois minggu depan! 😁😁

Alois (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang