6✓

53 18 9
                                    

Bila pada malam-malam sebelumnya Sarmini menggosip panjang lebar sampai berbusa, kali ini, keadaan sedikit berbeda. Sejak aku kembali dari ruang makan, ia sama sekali tidak mengajakku berbicara. Ia mematut dirinya di cermin seperti biasa, sibuk dengan penampilannya. Setelah puas bercermin, ia memoles kuku-kukunya dengan cat kuku berwarna merah yang entah ia dapatkan dari mana.

Melihat sosok Sarmini, aku jadi teringat akan Alois. Sarmini bukan hantu yang jahat. Selain memenjaraku dengan gosip panjang lebar mengenai pembantu-pembantu Om Hendro dan wujud aslinya, tidak ada yang membuatku terganggu. Mungkin Sarmini hanya membutuhkan teman bicara, tidak lebih. Meskipun begitu, aku masih merasa was-was. Bagaimana jika ia tiba-tiba menyerangku seperti Alois? Bagaimana jika benar-benar ingin mengambil alih tubuhku seperti yang diucapkan Tante Tri? Saat ini, cat kuku berwarna merah itu dan sikap diamnya adalah anomali dan aku merasa semakin cemas.

"Sar, boleh nanya nggak?" tanyaku basa-basi.

"Hm?" Sarmini masih sibuk dengan kukunya.

"Setiap tengah malam, kamu pergi ke mana?"

Tidak ada jawaban. Wajah Sarmini berubah muram setelah aku menanyakan pertanyaan itu. Ia berpura-pura sibuk memoles kukunya. Namun, tangannya terlihat gemetar. Pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku.

"Sar," panggilku.

Kembali tidak ada jawaban.

"Mau tahu?" tanya Sarmini beberapa lama kemudian. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, memperhatikan hasil polesannya.

"Ya."

Sarmini menoleh padaku. Wajahnya datar. Tangannya diturunkan. Lalu, dengan suara pelan, ia berkata, "Maaf, nggak akan kuberitahu."

Setelah berkata demikian, ia melayang pergi, menembus jendela kamar, dan terbang menembus derasnya hujan. Aku memandang kepergiannya dalam diam. Sejumlah pertanyaan memenuhi kepalaku. Aku melirik jam dinding. Masih pukul sembilan malam. Sarmini biasanya pergi tengah malam. Anomali, lagi. Entah mengapa, aku merasa sangat kesepian.

***

Jam dinding kelas masih menunjukkan pukul 06.00 ketika aku datang. Ficky menyapaku dari bangkunya. Hanya ada kami berdua di kelas. Yang lain belum datang.

"Ada rapat lagi, ya?" tanyaku.

"Tadinya iya. Tapi nggak jadi. Kak Eva sakit, jadi nggak bisa mimpin rapat. Anggota yang lain juga nggak bisa," jawab Ficky.

Aku meletakkan tas di bangku pojok belakang dekat jendela, tempat favoritku. Di sini, aku bisa melihat langit dengan leluasa. Ficky membuka buku bersampul hitam dan membacanya. Aku tidak ingin mengganggu, jadi diam saja. Mendung yang selalu menutupi langit kotaku menjadi perhatianku saat ini. Setiap kali memandang langit yang seperti itu, aku merasa ada yang janggal. Kota ini seolah diselimuti dinding besar tak kasat mata yang memenjara penghuninya dalam kegelapan. Surabaya sedikit lebih baik dari ini. Setidaknya masih ada langit cerah di beberapa waktu.

Bosan memandang ke atas, aku mengarahkan pandangan ke bawah sana. Lapangan basket, perpustakaan, gudang, beberapa ruang kelas, dan kantin terekspos dengan jelas dari atas sini. Tidak ada siapa-siapa, tadinya. Namun, jika kuperhatikan lebih jelas, rupanya ada seseorang yang berdiri di tengah-tengah lapangan sana. Aku benar-benar tidak percaya. Itu adalah si wanita bergaun hitam! Aku sama sekali tidak berkedip memikirkannya. Wanita itu masih di sana, diam mematung, seperti menunggu sesuatu. Kutoleh Ficky. Apakah ia merasakan kehadiran wanita itu? Namun, ia tampak masih fokus pada bukunya.
Buru-buru aku beranjak dari kursi dan berlari keluar kelas. Ficky sempat bertanya aku mau ke mana. Sepertinya, ia memang tidak menyadari kehadiran hantu wanita itu. Tapi, tunggu. Apakah wanita bergaun hitam itu memang sesosok hantu? Aku masih ragu akan hal itu. Tanpa menjawab pertanyaan Ficky, aku berlari menyusuri lorong secepat yang aku bisa. Aku menuruni tangga ke lantai satu dengan langkah tergesa hingga hampir terpeleset. Beberapa anak yang baru datang melihatku dengan ekspresi heran. Aku tidak peduli. Pokoknya, aku tidak ingin kehilangan wanita itu. Setiap kali melihat sosoknya, aku merasakan hal buruk akan terjadi.

"Stop!"

Langkahku terhenti secara mendadak begitu Alois tiba-tiba muncul di hadapanku. Untung saja aku segera berpegangan pada pohon sehingga tidak terjatuh. Aku sudah berada di taman saat ini. Lapangan basket berada di belakang gedung empat lantai tempat kelasku berada ini. Tinggal berjalan memutari gedung dan aku sampai di lapangan. Namun, Alois menghadang setiap langkahku. Jika aku ingin ke kanan, ia dengan cepat berpindah tempat ke kanan. Bila aku ingin lewat kiri, ia tiba-tiba sudah berada di depanku lagi dengan senyum jail di wajahnya. Apa yang diinginkan hantu ini dariku?

"Biarkan aku lewat," desisku sembari sebisa mungkin untuk meminimalkan gerakan mulut. Aku tidak ingin dianggap gila karena berbicara sendiri. Sudah banyak anak yang berdatangan ke sekolah dan berlalu-lalang di depan gedung.

"Kau ingin menemui dia, kan?" tanya Alois.

Dahiku berkerut. Jangan-jangan Alois tahu apa yang akan aku lakukan.

"Dia maksudku, ya wanita itu. Wanita yang kamu lihat dari kelasmu."

Mataku membelalak. Setelah melirik sekitar dan memastikan kondisi sudah kembali sepi, aku menunduk dan berbisik, "bagaimana kamu tahu?"

Alois tersenyum, mengelap hidungnya, lalu berucap, "Tentu saja. Aku tahu segalanya. Ngomong-ngomong, aku punya saran untukmu. Sebaiknya, kau abaikan saja wanita itu."

"Hah? Mana mungkin? Aku---"

"Selalu merasakan hal buruk ketika melihat wanita itu?" potong Alois. Ia menurunkan tangannya dan mendekat padaku. "Dengar, Nona, hanya kau, aku, dan hantu-hantu lainnya yang dapat merasakan kehadiran wanita itu. Selain kita, tidak ada."

Jadi itu alasan mengapa Ficky yang multitalenta justru tidak bisa merasakan kehadiran hantu wanita itu? Namun, penjelasan Alois itu justru mendatangkan pertanyaan baru dalam kepalaku.

"Kenapa aku tidak boleh mendekati wanita itu? Kenapa kau bisa tahu apa yang kurasakan? Dan mengapa hanya 'kita' yang bisa merasakan kehadirannya?" tanyaku bertubi-tubi.
Alois tersenyum, tidak kunjung menjawab. Beberapa detik kemudian, ia menunjuk langit dan berseru, "Lihatlah! Langit tidak mendung lagi."

Bodohnya, aku mendongak. Langit memang tidak lagi ditutupi mendung. Warnanya biru cerah dan hanya dihiasi oleh awan-awan sirius yang tipis. Cahaya mentari menyapu wajahku sehingga terasa hangat. Entah kenapa, aku merasakan rindu menelisik dadaku, seolah pemandangan ini hanya sekali dalam setahun dan aku tidak pernah melihatnya lagi. Saat itulah Alois menghilang. Ketika aku menurunkan kepalaku, hantu itu sudah menghilang entah ke mana. Aku memaki dalam hati. Sekolah semakin ramai. Jam di ponselku menunjukkan pukul 06.30. Pelajaran pertama dimulai lima belas menit lagi. Aku buru-buru naik ke tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua, dengan berbagai pertanyaan memenuhi kepalaku.

Alois (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang