20

60 8 4
                                    

Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Pusing masih mendera kepala. Namun napasku tidak lagi sesak. Tubuhku pun masih bisa digerakkan. Bisa dibilang, keadaanku lebih baik dari sebelumnya.

"Syukurlah kamu sudah sadar," ucap suara yang sangat aku kenal.

Sosok Sarmini duduk bersimpuh di sebelahku. Wajahnya yang pucat itu bertambah pucat dengan beberapa luka di sana-sini.

Aku mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Kuedarakan pandangan ke seluruh ruangan. Suasana di koridor lantai dua masih sama suramnya seperti ketika aku kehilangan kesadaran. Sunyi. Seolah tiada kehidupan. Dan entah mengapa semua terlihat abu-abu. Namun kabar baiknya, monster berwujud bayangan hitam itu sudah tidak ada di sini. Aku bisa bernapas lega.

"Apa yang terjadi?" tanyaku pada Sarmini.

Sarmini tersenyum. Namun aku menangkap lelah dalam senyumnya. "Aku melawan monster itu."

Mata membulat. "Benarkah? Sendirian?"

Sarmini mengangguk sebagai jawaban.

Aku memeluknya. Dingin tubuhnya serasa menusuk tulang. Namun aku tak peduli. Saat ini aku benar-benar berterima kasih. Sarmini telah bertarung sekuat tenaga untuk kami. Entah bagaimana nasibku dan Nabila kalau Sarmini tidak ada..

"Terima kasih, terima kasih, terima kasih!" ucapku sembari berderai air mata.

"Hei, kamu berlebihan, Ariza. Menolong adalah tugas seorang teman, bukan?"

Aku melepas pelukan dan mengangguk. "Syukur deh kamu tahu. Bahkan hantu pun tahu apa arti teman. Hahaha ... kamu ternyata cukup kuat, Sar."

"Iya, dong. Aku gitu, loh!" Sarmini menyibak rambut panjangnya.

Aku hanya tersenyum, tak ingin menanggapi bualannya kali ini. "Oh ya, luka-luka itu apakah bisa hilang?"

"Ini?" Sarmini meraba wajahnya. "Tenang saja. Besok aku akan kembali cantik seperti biasa, kok."

"Syukurlah."

"Daripada itu, sebaiknya kamu mencemaskan adikmu."

"Oh iya, Nabila!" Aku menggoyangkan tubuh Nabila yang berbaring di sampingku. "Nabila! Nabila! Bangun!"

Mata Nabila masih terpejam. Tidak ada tanda-tanda ia akan bangun sama sekali. Rasa khawatir menyusup ke dalam benakku. Meski aku benci Nabila, di tetaplah adikku. Aku menyentuh pergelangan tangannya demi merasakan nadi yang masih berdenyut. Fyuh, syukurlah dia hanya pingsan.

"Dia baik-baik saja, kan, Ariza?" tanya Sarmini. "Aku tidak bisa membedakan manusia yang tidur dan yang sudah mati. Jadi aku cukup khawatir karena dia tidak bangun."

"Dia baik-baik saja," jawabku. "Entah kenapa hanya aku yang sadarkan diri. Tetapi, sekali lagi terima kasih atas bantuanmu."

Kali ini, wajah Sarmini tampak muram. "Maafkan aku, Ariza."

"Untuk apa?"

"Selama ini, aku merahasiakan sesuatu dari kamu. Kamu tahu? Sebenarnya aku bersekutu dengan wanita bergaun hitam itu."

Mataku membulat. Jadi itu alasannya ia selalu pergi setiap jam 12 malam? Sarmini yang kupercaya ternyata adalah sekutu wanita itu.

"Kenapa kamu melakukan itu?"

"Wanita bernama Victoria itu bilang kalau dia bisa membangkitkan membuat arwah penasaran hidup lagi. Aku membantunya karena tertarik dengan tawaran itu. Sebenarnya, yang memberitahukan keberadaan Ficky dan anggota Klub Sastra yang lain pada Victoria adalah aku. Victoria bahkan pernah menyuruhku untuk membunuh kamu. Namun kamu satu-satunya manusia yang bisa aku ajak bicara. Aku tidak tega melakukannya.

Alois (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang