17✓

67 10 2
                                    

"Alois, woy, Alois!" panggilku. Yang kupanggil tidak mengacuhkanku sama sekali.

Aku mencoba menepuk bahunya, siapa tahu ia sadar kalau aku ada di sini. Namun betapa terkejutnya aku mendapati tanganku justru menembus tubuhnya. Mataku membelalak tak percaya. Aku menatap telapak tanganku yang tembus pandang. Mengapa keadaannya berbalik sekarang?

Alois dan ayahnya bergerak meninggalkan halaman pabrik. Aku masih berteriak sembari mencoba mengikuti mereka. Kuedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari suatu petunjuk. Sebuah papan nama terpaku di atas tanah bertuliskan nama pabrik dalam bahasa Belanda yang tidak bisa kubaca sama sekali. Di bawahnya terdapat keterangan tahun 1888. Mataku membulat. Aku berdiri, berjalan pada papan itu, dan menghitung angkanya satu per satu hanya untuk memastikan aku tidak salah lihat. Tahun 1888? Jauh sekali. Apa aku terlempar ke masa kolonialisme di mana Indonesia masih dijajah oleh Belanda? Ah, hantu sialan!

"Ndang gagi! Ngko juragan ngomeng maneh." Seorang pekerja berkata dalam bahasa Jawa. Juragan yang dimaksud mungkin adalah ayah Alois. Masing-masing pekerja---yang kebanyakan adalah pemuda seusiaku---mengangkat minimal tiga karung. Tubuh mereka yang hitam dan kurus itu terbungkuk-bungkuk menahan beratnya beban yang diangkut masing-masing punggung.

Aku seketika menebas dada melihat pemandangan itu. Beruntungnya aku yang lahir dan hidup di zaman kemerdekaan.

Aku mengikuti para pekerja itu ke dalam pabrik. Toh, mereka tidak akan mengetahui keberadaanku.

Keadaan di dalam pabrik lebih suram dari yang aku duga. Dinding yang seharusnya bercat putih itu entah kenapa terlihat begitu abu-abu di mataku.

Ratusan pekerja berlalu-lalang mengangkat berkilo-kilo bahan baku. Peluh membasahi tubuh mereka, tetapi para pekerja itu tidak kenal lelah melakukan kegiatan mereka. Di beberapa tempat, terdapat orang-orang Belanda yang juga membawa pecut. Pekerja itu diperlakukan seperti ternak.

Ayah Alois berdiri di tengah ruangan. Matanya masih tajam mengawasi ratusan pekerja yang membanting tulang di hadapannya. Aku menghampiri Alois yang berdiri dalam diam di sebelahnya. Mata birunya yang polos menatap para buruh yang berada di bawah komando ayahnya. Ekspresinya datar. Andai aku tahu apa yang ia pikirkan.

"Alois, Alois, ini aku," bisikku ketika berada begitu dekat dengannya. Aku berjongkok untuk menyamakan tinggiku dengannya. Usahaku gagal lagi. Namun aku tidak menyerah. "Ini Ariza, Alois! Lihat aku, sini!"

Alois yang semula memerhatikan para pekerja mulai mengalihkan pandangannya. Dahinya berkerut dan wajahnya tampak kebingungan. Ia mendongak dan bertanya pada ayahnya dalam bahasa Belanda yang tentu tidak aku mengerti artinya. Namun dari ekspresi mereka, aku bisa menebak kalau Alois merasa aneh akan sesuatu. Itu artinya aku berhasil.

Sang ayah ikut memerhatikan sekeliling seolah-olah mencari sesuatu. Ia memandang Alois sekali lagi, mengatakan sesuatu dengan ekspresi meremehkan. Alois mengerucutkan bibir. Pipinya menggembung dan ia terlihat lucu sekali.

Aku melambaikan tangan di depan wajahnya. Semula, kukira usahaku tak akan berhasil. Namun, mata Alois membelalak. Bocah kecil itu berteriak dan menarik-narik tangan ayahnya. Netra birunya itu membulat ketika melihatku. Sang ayah kembali tidak percaya.

"Alois, hei!"

Kali ini, kristal bening menitik dari mata Alois. Ruang produksi yang sudah berisik itu dimeriahkan lagi oleh tangisan Alois yang semakin menjadi. Aku merasa bersalah. Tidak kusangka usaha untuk menunjukkan eksistensi di depan Alois adalah hal yang salah. Padahal tujuanku baik. Aku hanya ingin mengetahui apa yang terjadi. Melihat Alois di sini, kukira akan ada sesuatu yang kutemukan.

Bentakan sang ayah adalah hal yang didapat Alois atas perbuatannya. Sang ayah mengatakan sesuatu pada salah satu bawahannya yang membawa pecut sembari menunjuk Alois. Si bawahan mengangguk saja kemudian membawa Alois pergi.

Alois (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang