7✓

74 16 12
                                    

Malam ini, Sarmini tidak berada di kamarku. Setelah makan malam, aku membuka buku dan belajar. Membosankan? Tidak juga. Namun, aku masih merasa ada sesuatu yang hilang. Tidak ada yang mengajakku bicara sampai larut malam. Selama ini, aku hanya bicara satu-dua patah kata pada orang lain. Dengan orang yang kukenal pun, bila tidak terlalu pmeting, aku mungkin hanya mengucapkan beberapa kalimat. Sebelum Sarmini datang, orang yang mengobrol paling lama denganku adalah Tante Tri. Namun Tante Tri dan aku kini jauh jaraknya. Tidak ada teman bicara. Ini menyakitkan dan rasa sakit itu sedikit mengejutkan. Ternyata anak penyendiri sepertiku juga merasa kesepian.

Aku baru saja akan membalik halaman buku bahasa Indonesia yang baru kubaca ketika ponsel berbunyi. Ada pesan dari Ficky. Aku mengabaikannya. Namun, ponselku berbunyi lagi hingga berkali-kali. Karena kesal, aku pun menutup buku bahasa Indonesia dan mengambil ponsel. Ada sepuluh pesan masuk. Aku mengerutkan dahi. Baru kali ini aku mendapat pesan pribadi begitu banyak. Apakah Ficky kurang kerjaan?. Aku membuka pesan tersebut satu per satu dan membacanya. Isi pesan itu membuat jantungku hampir copot.

'Ariza, gawat!'

'Aku diberitahu Kak Bagas, katanya Kak Eva masuk rumah sakit.'

'Berdasarkan diagnosa dokter, katanya Kak Eva punya penyakit lambung. Dan sekarang penyakitnya kumat.'

'Tapi aku punya firasat lain.'

'Mungkin Kak Eva bukan sakit. Tapi kena kutukan!'

'Sebenarnya, selama ini aku merasa nggak enak di sekolah.'

'Nggak sekarang aja sih. Bahkan pas pertama melihat sekolah kita, aku merasakan aura yang buruk.'

'Mungkin ini ada sangkut pautnya sama Alois. Kalau diingat-ingat, Kak Eva sakit setelah kita rapat. Iya, kan?'

'Gimana kalau kita selanjutnya?'

'..............'

Pesan terakhir membuatku bingung. Apa maksudnya itu? Apa ia kesal karena aku tidak membalas? Kupikir, apa yang dikatakan Ficky mungkin saja benar. Alois sangat misterius. Selain itu, dia juga cukup berbahaya. Isi pesan kesembilan juga membuat bulu kudukku mendadak berdiri. Melihat hantu dengan wujudnya yang luar biasa saja sudah merupakan kutukan. Apalagi jika dikutuk oleh hantu itu sendiri. Namun, apakah benar Kak Eva memang dikutuk? Semoga saja itu hanya firasat Ficky.

Aku menekan keyboard di layar ponselku, mengetik balasan. Namun, belum selesai aku mengetik, ponsel kembali berbunyi. Ficky mengirimkan satu pesan lagi. Aku hampir saja menghancurkan ponsel ketika membaca isinya.

'Ficky sudah tidur. Ini Alois.'

***

Pukul 06.00, aku buru-buru menuju ke garasi dan meminta Pak Maman segera mengantarku ke sekolah. Nabila berteriak memprotes. Ia meminta Pak Maman mengantarnya lebih dulu setelah selesai sarapan. Itu artinya, aku harus menunggu tiga puluh menit lagi. Sayangnya, pagi ini aku tidak bisa menuruti kelambanan Nabila. Ada satu hal yang harus kupastikan, hal yang membuatku was-was dan menjadi susah tidur semalaman.

Ficky!

Setelah membaca pesan terakhirnya, aku menjadi syok. Aku membalas secepat kilat. Lima pesan yang kukirim tidak kunjung ia balas. Aku mengirimkan pesan lagi. Kali ini, lebih banyak hingga layar ponselku macet.

'Fick, jangan bercanda, ya!'

'Awas kamu!'

'Woy!'

'Bales gih!'

Balasan dari Ficky setelahnya membuat aku benar-benar melemparkan ponselku ke atas kasur. Ficky mengirimkan dua buah gambar. Gambar pertama, seluruhnya berwarna hitam. Yang membuatku melempar ponsel adalah gambar kedua. Di gambar itu, tampak Ficky terbaring di atas lantai. Ia berada di ruangan dengan cahaya minim. Namun, pemandangan Ficky yang terbaring di lantai hanyalah latar belakang. Objek utama dalam foto tersebut adalah wajah seorang bocah berambut pirang yang hanya terpotret setengah dan tampak kabur, yang menjadi fokus perhatianku. Benar. Alois!

"Cepetan, Pak!" teriakku pada Pak Maman, mengabaikan Nabila yang mengomel di depan garasi.

Pak Maman dengan ragu-ragu membuka pintu mobil dan mempersilahkanku masuk. Tanpa pikir panjang, aku langsung duduk di kursi depan. Pak Maman geleng-geleng kepala. Ia menutup pintu mobil belakang, lalu duduk di kursi sopir. Nabila berteriak meminta Pak Maman untuk berhenti. Namun mobil kami terus melaju meninggalkan garasi, melewati Nabila yang kini wajahnya merah padam. Ia berteriak menyumpahiku. Teriakannya sampai mengundang perhatian Om Hendro dan Ibu. Bisa kutebak, sepulang sekolah nanti aku akan diceramahi panjang lebar. Dan mungkin, Pak Maman akan terkena imbasnya.

"Tenang aja, Pak. Nanti biar Ariza yang tanggungjawab," ucapku.

Wajah Pak Maman yang sudah pucat bertembah pucat. "Tapi, Non ...."

"Ini penting, Pak."

"Memangnya ada apa? Sudah dua kali Non minta diantar pagi-pagi."

"Kalau aku cerita, Pak Maman nggak bakal percaya. Sudah deh, Pak. Sekarang Pak Maman fokus nyetir aja. Kalau misal Om Hendro mau motong gaji Pak Maman, biar Ariza yang damprat tuh orang."

Pak Maman tertawa kecil. Lalu berkata, "Non ini. Maaf nih Non, tapi Non punya kuasa apa kok berani-beraninya mau damprat Pak Hendro?"

"Yee ... ngeremehin nih, Pak? Lihat aja nanti."

"Iya, Non, iya. Saya percaya kok sama Non."

Hujan datang ketika kami sampai di depan gerbang sekolah. Pak Maman menawariku payung. Namun, aku menolaknya. Tak peduli meskipun seragamku akan basah, aku membuka pintu mobil dan berlari masuk. Pak Maman berkali-kali memanggilku sembari mengangkat payung, tetapi aku mengabaikannya. Aku terus berlari hingga mencapai gedung kelas di lantai satu.

Ketika mencapai tangga, aku merasakan aura yang negatif. Segera saja aku menapaki anak tangga menuju lantai dua. Dalam hati, aku berdoa semoga Ficky baik-baik saja. Kakiku hampir terpeleset setelah menginjak anak tangga terakhir. Untung saja aku berhasil berpegangan pada tembok. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba petir datang menyambar-nyambar. Pikiranku semakin kalut.

Pancaran aura negatif itu semakin kuat terasa. Aku berlari lagi. Jarak antara tangga dan kelasku cukup jauh. Aku harus melewati lima ruang kelas untuk mencapainya. Petir datang lagi. Aku terpeleset dan terjatuh di depan pintu kelas. Mungkin karena sepatuku licin karena menginjak air hujan. Aku segera bangkit dan menggeser pintu kelas. Tak terbayang betapa leganya aku melihat Ficky sudah berada di bangkunya sembari membaca buku.

Kedua kakiku terasa lemas, tetapi senyumku mengembang. Ternyata Ficky hanya bercanda tadi malam. Seharusnya aku marah. Namun untuk saat ini, aku tidak bisa. Aku terjatuh kembali. Tubuhku terduduk di lantai, sementara tanganku masih memegang kenop pintu. Baiklah, mungkin aku terlalu berlebihan mencemaskan Ficky. Jika dia masih suka datang pagi dan membaca buku, itu artinyadia masih Ficky yang aku kenal.

Ficky menoleh. Sepertinya ia menyadari keberadaanku. Aku bangkit dan merapikan penampilanku. Mungkin dia akan heran melihatku seperti ini, atau justru malah tertawa setelah ia tahu aku mencemaskannya karena pesannya semalam. Aku berjalan memasuki kelas dengan ekspresi marah yang kubuat-buat. Ficky masih memandangiku.

"Pesan semalam itu maksudnya apa, hah?" tanyaku dengan suara penuh penekanan.

Ficky tidak menjawab. Ia masih memandangiku. Ekspresinya datar, tidak seperti Ficky yang biasa kukenal. Netra cokelatnya yang dibingkai oleh kacamata minus itu tampak mati. Wajah Ficky pucat seperti mayat. Aura negatif itu semakin kuat kurasakan saat berada di dekatnya. Aku baru sadar, aura itu justru berasal darinya. Dan ketika aku melihat Alois muncul dari balik tubuhnya, kakiku mendadak kembali lemas.

Rasanya lega yang kurasakan ternyata hanya sementara.

Alois (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang