8✓

65 14 5
                                    

"Jangan salah paham! Aku justru berniat menyembuhkannya," kilah Alois.

"Mana bisa aku memercayai ucapanmu?" bentakku.

Petir menyambar lagi. Kali ini, suaranya lebih keras dari sebelumnya. Aku menutup telinga rapat-rapat, lalu bertiarap. Dadaku terasa sedikit ngilu. Ketika aku mendongak, tiba-tiba Alois sudah berada di depan. Ia berjongkok. Matanya tampak meneliti wajahku. Aku mengibaskan tangan, mengisyaratkan ia untuk menjauh. Tubuhku beringsut ke belakang. Aku menatap nanar Alois yang kini berdiri. Ia semakin membuatku kesal. Tatapannya seolah tidak bersalah.

"Tenanglah," ucap Alois.

Aku hendak membentaknya lagi. Namun sebelum suaraku keluar, Alois sudah kembali berada tepat di depanku. Ia berjongkok dan memeriksa wajahku. Apa yang ia lakukan? Apa ia mau mengutukku juga?

"Kau cukup beruntung, Nona."

"Hah? Apa maksudnya itu? Apa kali ini kamu akan mengutukku seperti teman-temanku lain waktu?"

"Tentu saja tidak. Nona, kau cukup keras kepala. Sudah kubilang, bukan aku yang menyebabkan mereka seperti ini."

"Jika bukan kamu, lalu siapa?"

"Ingat wanita yang kau lihat kemarin?"

"Maksudmu wanita bergaun hitam itu?"

"Iya. Waktu itu, aku menyuruhmu untuk mengabaikannya. Ternyata itu pilihan yang salah."

"Lalu, apa hubungannya wanita itu dengan semua ini? Jangan bilang kamu mau mengkambinghitamkan wanita itu atas kesalahanmu."

"Nona, ini sudah ketiga kalinya aku berkata, 'aku bukan penyebab semua ini'. Tolong jangan membuatku mengulanginya lagi. Aku bukan ingin mengkambinghitamkan wanita itu, tetapi memang wanita itulah yang bertanggungjawab atas kutukan yang menimpa teman-temanmu. Paham?"

"Kalau begitu, apa maksud pesan semalam?"

"Sebenarnya, tadi malam aku berusaha melindungi Ficky."

"Dengan merebut ponselnya dan menggunakannya sesuka hati?"

"Itu kulakukan agar kamu tidak khawatir."

"Justru itu yang membuatku khawatir dan salah paham! Kamu tidak sadar bagaimana posisimu bagi kami?"

"Baiklah, baiklah. Akan aku jelaskan."

"Ya, jelaskan sekarang!"

"Aku melihat wanita itu mengikuti Ficky sepanjang hari. Kamu sendiri tahu, kan, Ficky tidak bisa merasakan kehadirannya? Sepanjang hari itu, aku mengikuti Ficky secara sembunyi-sembunyi. Aura Ficky yang cukup murni membuatku agak sulit mendekatinya. Terlebih, dia masih bisa melihatku. Pun besar kemungkinan reaksinya jauh lebih buruk darimu. Mungkin ia akan menyerangku dengan mantra-mantra suci yang ia hafalkan."

"Langsung ke intinya saja, jangan bertele-tele!"

Alois memutar bola mata. Ia melanjutkan, "jadi kemarin aku berhasil mengikuti Ficky sampai ke rumahnya. Aku mengawasinya dari kejauhan. Sayangnya, saat itu aku lengah karena sekelompok hantu mengajakku bermain. Ketika aku kembali, tiba-tiba saja aura Ficky lenyap. Aku pun nekat memasuki rumahnya. Aku mendapati Ficky bersimpuh di hadapan wanita itu dalam keadaan tak sadarkan diri. Aku sempat bertarung dengan wanita itu dan kalah. Wanita itu pergi. Aku tidak bisa mengejarnya karena auranya menghilang begitu saja. Saat itulah aku melihat pesanmu dan aku langsung membalasnya. Ngomong-ngomong, alat komunikasi manusia jaman sekarang canggih sekali, ya---"

"Bodoh! Kenapa kamu lengah? Seharusnya kamu bisa menyelamatkan Ficky, kan?"

Alois menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya dan mengalihkan pandangan dariku.

"Ya ... mau bagaimana lagi? Semua itu sudah terjadi. Tahu sendiri, kan, aku tidak bisa menghadapi wanita itu seorang diri. Karena itu, aku butuh partner."

Alois melirikku. Aku langsung tahu apa maksud tatapannya.

"Aku?" ucapku sembari menunjuk diriku sendiri.

Alois mengangguk, lalu berkata, "hanya kamu manusia yang bisa melihat wanita itu. Kupikir, mungkin kita bisa bekerjasama untuk mengalahkannya dan mencabut kutukan yang menimpa kota ini."

"Namun kita bahkan tidak tahu bagaimana cara mengalahkannya. Dan, tunggu, kamu bilang kota ini dikutuk. Apa benar?"

"Karena itulah kita harus mencaritahu. Kota ini sudah dikutuk semenjak kedatangan wanita itu. Jika kita berhasil mendepaknya keluar, atau bahkan memusnahkannya, mungkin kutukan itu akan menghilang. Bagaimana? Mau tidak?"

"Baiklah. Ini demi teman-temanku juga."

"Bagus. Kalau begitu, tolong jaga Ficky untuk satu hari ini. Tiga puluh menit lagi, pelajaran pertama akan dimulai. Kalau bisa, jangan sampai teman-teman sekelasmu menyadari ada yang aneh dengan Ficky. Bisa kamu tangani?"

"Beres! Serahkan saja padaku."

Alois mengangguk dan berkata, "Aku pergi dulu. Masih ada hal lain yang harus aku urus."

Sosok Alois menghilang begitu saja. Kata-kata terakhirnya membuatku penasaran. Urusan apa lagi yang harus ia tangani? Namun aku segera menghapus lamunan itu. Satu-dua teman sekelasku mulai berdatangan. Aku segera menempati bangkuku. Tiga puluh menit kemudian, pelajaran dimulai. Pak Wage, guru matematika yang terkenal galak memasuki kelas. Ia menuliskan soal di papan, lalu menunjuk seorang murid untuk mengerjakannya.

"Ficky, kamu dari tadi diam terus. Maju, kerjakan soalnya!"

Ficky tidak menanggapi. Pak Wage tampak marah. Seisi kelas riuh. Kalimat-kalimat ejekan terlontar kepada Ficky.

Untuk mencegah hal-hal tidak diinginkan, aku memberanikan diri mengangkat tangan dan berteriak, "Saya, Pak!"

Seisi kelas terdiam. Pak Wage tersenyum bangga padaku. Namun senyuman itu justru terlihat seperti ancaman. Dengan gemetar, aku berjalan menuju papan. Angka-angka yang tertulis di papan seolah mencekikku. Lima menit terlewati. Tidak satu pun angka yang kutuliskan di papan.

Pak Wage kembali naik pitam. Dengan suaranya yang naik satu oktaf, Pak Wage membentak, "KELUAR KAMU!"

Alois (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang