21

61 8 0
                                    


Mobil yang kami tumpangi melaju melewati jalan raya yang kini keadaannya sudah sangat sepi. Entah di mana orang-orang berada. Mungkin jiwa mereka sudah menjadi santapan Victoria. Pemikiran itu membuat perasaanku memburuk seketika. Aku berharap setelah kami mengalahkan wanita itu, jiwa-jiwa warga kota yang diambilnyabisa dikembalikan dan jalanan ini kembali ramai seperti biasa. Jujur saja, aku membenci kesunyian yang mencekam seperti ini.

"Ini buruk sekali," ucap Tante Tri. "Makhluk seperti apa dia? Kenapa dia bisa menghisap jiwa manusia sebanyak ini?"

"Entahlah Tante." Aku menghela napas. Victoria memang entitas yang unik.

"Maafkan Tante yang tidak pernah menghubungimu. Tante tidak tahu kalau keadaannya akan seperti ini."

"Tidak apa-apa, Tante. Ini bukan salah Tante."

"Tapi dari ceritamu, kamu hampir mati karena bencana ini. Seharusnya kamu di Surabaya saja bersama Tante."

Seandainya saja bisa begitu, Tante Tri. Seandainya saja....

"Jadi, di mana letak perumahan Belanda yang kamu sebutkan itu?"

"Letaknya berada di belakang sekolahku, SMA Cempaka Putih. Dari sini belok kanan di perempatan itu."

Tante Tri memutar kemudi. "Oke. Setelah perempatan ini?"

"Tante tinggal lurus saja, kemudian belok kiri ke sebuah gang kecil. Di sanalah perumahan Belanda berada."

"Kenapa namanya perumahan Belanda, ya?"

"Karena di sana terdapat banyak bangunan Belanda yang tidak terawat."

"Begitu, ya? Kalau Victoria ini dulunya adalah orang Belanda, mungkin tempat itu adalah tempat ia meninggal."

"Benarkah?" Aku menatap Tante Tri dengan mata membulat. Sungguh tak kusangka tempat upacara sekte itu berada dekat sekali denganku. "Kenapa selama ini aku tidak menyadarinya?"

"Yah, sekarang kita harus bergerak cepat sebelum semuanya terlambat."

Tak!

Sebuah benda terjatuh dan mengenai kaca mobil hingga retak. Tante Tri sontak menghentikan laju mobil. Jelaga hitam yang sama seperti sebelumnya adalah benda yang jatuh itu. Jelaga itu perlahan membentuk sebuah sosok hitam yang mempunyai tangan dan kaki.

"Mereka tidak pernah belajar, ya?" geram Tante Tri, kemudian mengeluarkan sebuah liontin dari dalam bajunya. Tante Tri pernah menceritakan tentang liontin berwarna hijau itu padaku. Ia berkata bahwa liontin itu adalah pemberian suaminya. Namun sepertinya itu bukan liontin biasa.

Mulut Tante Tri bergerak mengucapkan mantra dalam bahasa aneh yang tidak kuketahui maknanya. Bersamaan dengan itu, kepala sosok hitam di depan sana mulai berubah bentuk. Dan kali ini, wajah yang terukir di kepala makhluk itu kali ini benar-benar membuatku terpaku.

"Ficky!" seruku. "Tante, jangan sakiti dia!"

Tante Tri berhenti membaca mantra. "Apa? Kamu bodoh, ya? Dia itu---"

"Temanku, Tante! Dia Ficky teman sekelasku!" Aku mengguncang bahu Tante Tri. Air mataku mengalir. "Kita harus menyelamatkannya!"

Tante Tri memegang bahuku. Kemudian menghapus air mataku. "Ariza, dia bukan temanmu. Wajahnya memang tampak seperti orang yang kaukenal, namun dia hanyalah penipu. Kamu tidak bisa mendekatinya."

"Tapi, Tante---"

"Setelah semua ini selesai, keadaan akan kembali baik-baik saja, Ariza." Tatapan Tante Tri begitu dalam. Aku seolah tenggelam dalam netra cokelat kusam itu.

Alois (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang