11✓

57 13 5
                                    

Gelap yang memenuhi pandangan perlahan memudar dan digantikan oleh setitik cahaya terang yang semakin lama semakin membesar. Cahaya itu bagai meledak sehingga menyialukan pandangan. Kemudian, apa yang kulihat berubah lagi. Api ... semuanya api. Api membakar sofa-sofa tua mahal, perkamen-perkamen yang entah apa isinya, cangkir dan mangkuk porselen, meja dan kursi, karpet mewah, tirai jendela, dan sebagainya. Kaca-kaca jendela pecah. Serpihannya berhamburan di lantai bersama bercak-bercak darah segar.
Aku sempat bertanya, "ini di mana?" Namun nihil, tidak ada yang menjawab. Aku bagaikan benda mati yang menjadi saksi bisu sebuah peristiwa. Aku tidak memiliki kuasa untuk bergerak dan terus dipaksa untuk melihat tanpa dapat bertindak.

Alois terduduk di lantai memunggungiku sembari memegangi bahunya yang terluka. Ia berjarak beberapa meter di depanku. Di hadapan Alois, berdirilah seorang wanita bergaun hitam yang menggenggam pecahan kaca di tangannya. Terdapat bercak darah di sudut tertajam potongan kaca itu.

"Berdirilah! Buktikan padaku kalau kau bocah yang kuat!" ucap wanita itu. Suaranya halus, tetapi mengancam. Bulu kudukku meremang ketika mendengarnya.

Si bocah berdiri dengan susah payah. Dengan suara paraunya, ia berkata, "Kembalikan ... ayah dan ibuku!"

"Tidak akan."

"Kalau begitu, bunuh aku!"

Wanita itu tidak menjawab. Bibirnya membentuk garis melengkung ke bawah, menandakan bahwa ia tidak suka dengan keputusan si bocah. Ia memegang ujung tudung lebar yang menutupi sebagian wajahnya sehingga seluruh wajahnya semakin tak terlihat. Lama sekali ia terdiam dalam posisi itu. Yang terdengar selanjutnya hanyalah suara kayu dan benda lain yang bergemeretak terbakar api.

"Cepat bunuh aku!" teriak Alois. Ia menarik tangan si wanita, mengarahkan pecahan kaca yang dipegang wanita itu ke lehernya sendiri. Ucapan berikutnya diiringi dengan isakan tangis, "Bunuh ... aku ... kumohon ... ."

"Jika kau mati, aku akan kehilangan bidakku yang berharga," ucap wanita itu sembari mengelus puncak kepala Alois dengan lembut.

Dilepaskannya pegangan tangan bocah itu pada tangannya, dan dipeluknya tubuh bocah itu. "Baiklah, jika kau tidak bisa membuktikan bahwa kau bocah yang kuat, setidaknya, jadilah kelinci manisku yang berharga. Kau mau, kan, Alois?"

***

Pemandangan yang kudapati kali ini kembali berbeda. Bukan sebuah ruangan yang terbakar, melainkan sebuah ruang rawat inap di sebuah rumah sakit. Rupanya, apa yang kulihat dalam ruangan yang terbakar itu hanya mimpi. Syukurlah. Namun jika disebut mimpi, bukankah itu sedikit aneh? Terlebih lagi, rasanya aku seperti benar-benar berada di ruangan itu, seolah peristiwa itu benar-benar nyata. Lalu, mengapa Alois ada di sana? Dan mengapa pula ia berhadapan dengan wanita bergaun hitam itu?

Mimpi itu seolah memberitahukan aku sesuatu. Tante Tri pernah berkata bahwa aku tidak boleh mengabaikan mimpi. Namun sejatinya, aku tidak pernah benar-benar percaya bahwa mimpi dapat menjadi kenyataan.

Jika sedang sial, satu-dua hantu hadir mengganggu mimpiku dan membuatku begadang sampai pagi. Ah, apa itu artinya Alois dengan seenaknya menyusup ke dalam mimpiku? Dengan wanita itu? Lalu, apa maksud adegan berpelukan layaknya ibu dan anak itu? Memikirkannya membuat kepalaku semakin pusing.

"Sudah sadar?"

Mataku mendelik. Hampir saja aku berteriak begitu melihat sosok Alois telah berada tepat di samping kasurku. Bocah itu melipat tangannya di atas kasur dan memandangku sembari tersenyum.

"Kau pingsan cukup lama," ucapnya, kemudian duduk di tepi kasur.

"Berapa lama?" tanyaku.

"Ya ... kira-kira tiga puluh enam jam, atau ... entahlah, aku tidak terlalu mengerti sistem waktu manusia. Hantu tidak mengenal waktu kecuali siang dan malam."

Alois (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang