9✓

72 12 9
                                    

Ficky tidak masuk sekolah setelah kejadian kemarin. Begitu juga dengan Kak Eva dan anggota Klub Sastra lainnya. Satu-satunya yang tersisa adalah aku. Tanpa kusadari, kutukan itu telah menimpa seluruh anggota Klub Sastra. Alois baru saja memberitahuku bahwa Kak Bagas adalah korban terakhir minggu ini. Bisa jadi aku selanjutnya.

"Mulai dari sekarang, berhati-hatilah!" pesan Alois saat itu.

Aku mengetuk-ngetuk meja dengan pensil. Soal-soal bahasa Indonesia yang tersaji di kertas telah kuabaikan sejak limabelas menit yang lalu. Pikiranku melayang pada wanita bergaun hitam dan kutukan yang ia berikan. Sejumlah pertanyaan menumpuk di kepalaku dan membuat resah.

"Waktunya tinggal sepuluh menit lagi!"

Peringatan Bu Lina membuyarkan lamunanku. Aku baru ingat, saat ini aku tengah mengikuti ulangan harian. Hanya lima belas soal yang baru kujawab dari total tiga puluh soal yang ada. Gawat! Waktu berjalan semakin cepat. Aku membaca soal secepat kilat dan menjawab sekenanya. Beberapa temanku sudah mengumpulkan duluan dan pergi ke luar kelas. Sial! Gara-gara Sarmini pulang dan bercerita panjang lebar tadi malam, aku tidak sempat belajar. Yang dapat kulakukan saat ini hanya pasrah. Apa pun hasilnya nanti, aku harus menerimanya. Toh, ini hanya ulangan harian.

"Waktu habis. Kumpulkan sekarang!" ucap Bu Lina.

Bel istirahat berbunyi tepat setelah aku menyelesaikan soal terakhir. Segera saja aku melangkah menuju meja guru untuk mengumpulkan kertas ulanganku. Alois tiba-tiba muncul dari balik Bu Lina. Ia memberi isyarat padaku untuk mengikutinya.

"Apa ada yang aneh di wajah saya?" tanya Bu Lina sembari membenarkan letak kacamatanya. Aku baru sadar ternyata aku melihatnya terlalu lama karena Alois.

Alois menarik tanganku dan membawaku berlari. Aku tersenyum minta maaf pada Bu Lina yang menurunkan letak kacamatanya dan menyipitkan mata melihatku. Sebisa mungkin, aku mencoba untuk bersikap normal. Beberapa pasang mata tengah memandangiku saat ini. Tentu saja gadis yang berlari di lorong dengan tangan terjulur ke depan adalah pemandangan yang aneh.

"Lebih cepat sedikit!" ucap Alois.

"Psst, jangan menarik tanganku! Kamu membuatku terlihat aneh," bisikku.

Begitu sampai di tangga, Alois melepas tanganku. Aku jatuh tersungkur. Hampir saja aku tergelincir di tangga. Siswa lain yang berlalu lalang di koridor melihatku heran. Aku melotot pada Alois yang hanya menunjukkan cengirannya padaku. Alois berlari menuruni tangga. Aku segera berdiri dan mengejarnya. Apa yang sebenarnya diinginkan Alois?

Alois baru berhenti berlari ketika kami sampai di lapangan. Ada beberapa kakak kelas yang sedang bermain basket. Aku memerhatikan mereka satu per satu. Tidak ada yang aneh.

"Kakak kelas ganteng-ganteng, ya?" celetuk Alois.

Aku melotot pada Alois. "Jangan bercanda!"

Alois tertawa kecil. "Maaf."
Ia pun menunjuk langit yang tengah mendung. Jika dilihat sekilas, itu tampak seperti mendung biasa. Namun, ternyata terdapat lubang hitam yang menganga di tengah gumpalan awan. "Kamu tahu apa artinya?"

"Hal yang gawat akan terjadi!" jawabku, sedikit berbisik.

"Namun, kita belum terlambat."

"Ini sudah gawat!"

"Ya, tetapi lubang itu belum seberapa. Kita masih bisa mencegah hal yang lebih buruk terjadi."

"Bagaimana?"

"Jangan panik dulu! Dengar, nanti wanita itu akan datang ke rumahmu. Dia sudah tahu kalau kamu bisa melihatnya. Mungkin salah satu anggota keluargamu akan terkena kutukannya. Dia ingin agar kamu menyerah. Maka dari itu, berhati-hatilah!"

Sosok Alois tiba-tiba menghilang. Aku berusaha sebisa mungkin menahan kekesalanku. Bocah itu selalu menghilang seenaknya setelah memberitahukan hal yang penting.

Sial!

Gerimis datang tak lama kemudian. Bersamaan dengan itu, bel masuk berbunyi. Para kakak kelas yang tadi bermain basket membubarkan diri. Aku memacu langkah menuju kelas dengan segumpal rasa khawatir di dalam dada. Meskipun membenci keluarga baruku, aku masih mendoakan mereka agar baik-baik saja.

***

Mobil jemputan Pak Maman datang sepuluh menit lebih cepat dari biasanya. Memang aku yang meminta. Saat ini, untuk pertama kalinya aku ingin pulang lebih cepat. Alasannya tentu saja karena kata-kata Alois.

"Cepetan, Pak! Ngebut juga nggak apa-apa," perintahku.

"Bentar, Non, bentar. Saya nggak mau membahayakan keselamatan Non," tolak Pak Maman.

Aku menghela napas. Baiklah, sabar ... sabar! Gara-gara ulahku kemarin, uang jajanku dipotong dan Pak Maman mendapat teguran. Nabila dibela habis-habisan. Katanya, reputasinya sebagai murid teladan hancur gara-gara aku. Itu tidak ada hubungannya, bukan? Lagipula, Pak Maman pasti segera kembali ke rumah setelah mengantarku. Perjalanan dari sekolah ke rumah jika dengan mobil tidak sampai lima belas menit. Bisa kutebak, yang menyebabkan Nabila terlambat adalah pidato Om Hendro ditambah ceramah ibu yang tiada habisnya. Untung saja gaji Pak Maman tidak dipotong.

Mobil melaju cukup lamban bagiku. Genderang dalam batinku bertalu-talu. Meskipun keluarga baruku ini menyebalkan, aku tidak sekejam itu sampai membiarkan mereka terkena kutukan. Aku masih menyayangi Ibu meskipun Ibu lebih menyayangi Nabila. Om Hendro mungkin bukan siapa-siapa bagiku, tetapi di rumahnya yang besar itulah aku tinggal. Semenyebalkan apa pun Nabila, ia tetaplah saudara tiriku. Membayangkan mereka duduk termangu dengan pandangan kosong tanpa melakukan apa pun terasa sedikit menyedihkan. Lagipula, seharusnya akulah yang wanita itu celakai, bukan mereka.

Jalanan kota terlihat padat. Berbagai kendaran memenuhi jalan raya yang cukup sempit. Beberapa truk yang melintas semakin memperkeruh suasana. Mendung terlihat semakin menghitam. Kota kelahiranku terlihat lebih temaram. Deretan toko tua yang berjejer di jalanan seolah termangu menyaksikan pemandangan ini. Aku merasa de javu.

Seorang pengendara sepeda motor menyalip mobil kami. Pak Maman hanya geleng-geleng kepala dan menggumam pelan. Genderang batinku bertalu semakin keras dan menciptakan orkestra hitam yang membuat hatiku teriris semakin dalam. Petir tampak menyambar-nyambar. Bersamaan dengan itu, aku mendengar suara dua benda berat beradu dengan diiringi suara teriakan yang kemudian diredam oleh gerimis.

Baru saja mobil kami melaju setelah melewati lampu merah, Pak Maman terpaksa menginjak pedal rem. Sebuah mobil van tiba-tiba berhenti tepat di depan mobil kami. Kendaraan yang lain juga berhenti. Kemacetan tak dapat dihindarkan. Suara klakson berbagai kendaraan memenuhi gendang telingaku. Genderang dalam batinku berubah menjadi melodi sendu, seiring gerimis yang datang bersama derasnya hujan. Tubuhku serasa menciut di kursi mobil. Toko-toko tua membisu setelah pemiliknya dan beberapa pelanggan merayap ke trotoar, menengok apa yang baru saja terjadi. Kecelakaan yang menimpa pengendara motor itu seolah menjadi tanda peringatan bagiku. Apa mungkin aku selanjutnya?

***

Halo pembaca sekalian. Lama tak bersua. Setelah berhari-hari menjelajahi pulau kapuk kemudian berkelana ke Orleans ketemu Jeanne d'Arc, terlempar ke Septem bertemu kaisar Nero, lalu terhempas badai dan terdampar di kapal Kapten Drake, akhirnya cerita ini 'nongol' juga di notifikasi kalian.

Bagaimana liburannya? Adakah yang berkelana keliling dunia seperti saya? Pasti banyak di antara kalian yang sudah menjelajahi alam lain. Bertemu vampir dan makhluk rupawan melalui perantara pulau kapuk misalmya. Heheheh. Bercanda. Liburan kalian pasti tidak sengenes saya.

Tak terasa tahun 2019 akan berakhir dalam waktu dekat. Apa harapan kalian pada tahun baru yang menunggu di depan? Mendapat pacar berparas rupawan? Menjadi jutawan? Atau... pergi menembus awan? Hahaha... Kalau saya, harapan saya hanya satu dan tidak muluk-muluk. Saya ingin lulus Ujian Nasional. Kalau bisa, lulus SNMPTN. Atau kalaupun di SNMPTN masih tidak lulus, setidaknya saya ingin diterima di SBMPTN. Amin... Semoga tahun 2020 bersahabat dengan saya dan kalian semua. (P.S : Doa saya tidak terwujud karena corona menyerang).

Salam,

Mustikaningtyas.

Alois (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang