18 #Desa Harapan

2 0 0
                                    

Melihat Bukan Hanya Dengan Mata, Melainkan Melihat Dengan Hati.
-------------------

Aku dan Zahid memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Karena ku rasakan pusing setelah naik perahu, terombang-ambing di tengah lautan dan melihat ketidak jelasan.

Untuk masalah sosok putih pucat itu aku tidak bahas lagi, karena keberadaannya pun juga agak membingungkan dan tidak jelas.

Di setiap perjalanan aku hanya diam, menyandarkan kepalaku di punggungnya Zahid.
Kepalaku terasa pusing sekali, seperti di tindih oleh beban yang bertanya sampai berkilo-kilo.

Mungkin karena aku tidak terlalu memperhatikan jalanan ternyata kita sudah sampai.

"Kak, sudah sampai!"

Aku langsung mengangkat kepalaku, turun dari motor dan langsung bergegas ke kamar.

"Hid kaka rehat dulu ya, agak pusing"
Sambil ku pegangi kepala bagian belakang.

"Tak antar yo kak!"
Sambil memegang lenganku.

"Ah gak papa, kaka bisa kok"

"Beneran kak?"
Tanyanya cemas.

"Iya"
Tanpa menoleh kebelakang aku langsung berjalan menaiki tangga menunju ke kamar. Dua anak kecil itu berlarian di aula tengah lantai dua, namun aku tidak hiraukan mereka. Aku langsung lurus menuju kamar.

Ku buka pintu perlahan, ku masuk dan langsung ku baringkan badanku ke ranjang.

Rasa pusing yang menyelimutiku, berpindah menjadi kantuk yang membius ku agar aku segera melelapkan diri.

Belum lama kurasakan aku tertidur namun mengapa aku pejamkan mataku dan masih melihat sekitarku.
Hmmm jangan bilang aku Astral Projection lagi.
Aku tahu sekarang aku sedang berada di 'Dunia Tanpa Batas' dimana dunia yang tidak aku tahui tempatnya. Karena itu tempat ada dan muncul ketika kita sedang berada dalam keadaan Trance, yaitu antara sadar dan tidak sadar. Dan tempat itu tercipta hanya untuk mereka yang memeiliki kemampuan lebih dan bisa dalam 'Astral Projection' atau bisa di bilang di saat posisi jiwa yang keluar dari tubuhnya dan berjalan-jalan mengeksplor tempat tertentu.

Aku bangkit dari baringku dan duduk melihat sekitar.

Dimana aku?

Tempat ini berkabut Dan gelap, aku tidak bisa melihat sama sekali. Sampai ku melihat ada sebuah celah cahaya Yang masuk ke dalam ruangan ini, sepuluh meter dari tempat aku duduk.
Aku bangkit berdiri berjalan menuju ke arah cahaya itu.
Ruangan Yang sebelumnya gelap, sekarang aku bisa melihatnya meskipun remang-remang.

Aku tersandung dengan sebuah batu yang berhamburan di sekelilingku. Bukan batu, melainkan reruntuhan bangunan yang berserakan di ruangan ini.

Setelah aku melalui ruangan ini ku melihat sebuah pintu yang terbuka hanya sedikit saja, yang menandakan bahwa baru saja ada seseorang yang keluar dari pintu tersebut.
Aku berjalan perlahan memegang gagang pintu usang itu.
Ku buka perlahan dan silauan cahaya yang sangat terang menerobos masuk ke dalam mataku.

Ku pejamkan mataku dengan cepat. Aku mencoba menghalanginya menggunakan jemari tanganku.

Saat mataku sudah bisa mengkondisikan dengan silauan ini ku mulai membuka mataku perlahan-lahan. Ku melihat sebuah kehancuran yang merata di setiap sisi yang bisa di jangkau oleh mataku.
Aku tidak tahu di mana tempat ini berada. Namun semuanya hancur, bangunan runtuh, kobaran api masih terlihat di beberapa titik tertentu. Tidak ada penghuni disini.

Kuturuni tangga yang sudah tidak beraturan di hadapanku. Bunga-bunga yang layu di sekitar tangga ini menjadi sambutan pahit untukku.
Aku melihat sekeliling untuk memastikan apakah ada seseorang yang tinggal disekitar sini.
Namun sepertinya usahaku sia-sia. Karena tidak ada tanda-tanda kehidupan disini.

Ku lanjutkan perjalananku menuju sebuah jembatan yang tidak jauh dari reruntuhan rumah yang baru saja aku singgahi. Jembatan ini menghubungkan daratan yang masih bagus dengan daratan yang benar-benar sudah tidak beraturan di ujung sana.

Saat ku lewati jembatan ini, aku melihat jauh ke bawah sana ada sebuah sungai kecil yang sudah tidak berair. Saat ku berada di tengah-tengah jembatan ini aku melihat lurus dengan aliran sungai ada sebuah bekas air terjun yang sangat tinggi dan sudah tidak dialiri oleh air setetes pun.
Lalu aku memalingkan pandanganku pada ujung jembatan ini. Ada sebuah plang berwarna putih yang sudah reot terpajang di tepi jembatan. Aku bergegas berjalan untuk menghampirinya.

Saat aku sudah benar-benar sampai di ujung jembatan ini, ku baca sebuah tulisan yang di tulis dengan cara di pahat di papan kayu ini.

"Desa Harapan"

Harapan?

Harapan gimana? Kalau yang terjadi saat ini adalah sebuah kehancuran. Bagaimana bisa di bilang desa harapan?
Aku bingung dengan yang terjadi disini. Apakah ini memang sengaja di hancurkan atau ada yang menghancurkan?

Aku sangat penasaran dengan apa yang terjadi dengan tempat ini. Aku melangkahkan kakiku memasuki tempat yang lebih hancur setelah jembatan.

Tak jauh dari tempatku berdiri ada sebuah pohon besar yang berdiri kokoh meskipun sudah hangus seluruh batangnya.
Saat ku menyipitkan mataku, aku melihat ada sesosok orang disana. Memakai pakaian serba hitam dengan sorban berwarna merah di kepalanya. Dia laki-laki, sudah berumur tua aku rasa.

Aku mendekatinya dan mencoba bertanya padanya.

"Permisi"
Aku bertanya secara halus dan
Dia menoleh ke arah ku.

"Kalau boleh tahu, ada apa ya dengan tempat ini kok hancur begini!?"
Sambil aku melihat sekeliling.

"Lihatlah dengan mata hati mu!"
Jawabnya pelan

"Mata hati?"
Aku bertanya bingung

"Lihatlah, pejamkan matamu"

Aku hanya menuruti perintahnya.
Ku pejamkan mataku perlahan.
Dan kurasakan sentuhan lembut pada dahiku.
Semilir angin sepoi-sepoi menerpaku. Tempat ini sudah tidak sepanas sebelumnya, lebih sejuk dan nyaman.

"Bukalah"

Aku membuka mataku perlahan, ku menyipitkan mata karena banyak sekali cahaya terang masuk ke dalam mataku.

"Wow"

Wow adalah ucapan yang keluar dari bibirku untuk pertama kali Karena melihat sebuah tempat yang sangat indah pemandangannya.

Aku melihat sekeliling, banyak sekali orang disini memakai baju serba putih.
Dan pohon hangus yang berada di depanku tadi sudah berubah menjadi pohon beringin yang sangat besar dan menyejukkan.

Air terjun, jembatan, rumah pemukiman penduduk dan masih banyak lagi yang membuat mataku tidak bisa berhenti untuk mengabsen seluruh tempat ini.

"Terimakasih"
Aku tersenyum pada seorang yang tadi aku ajak berbicara sebelumnya. Dia sekarang memakai pakaian serba putih dan membawa sebuah kendi kecil seukuran kepalan tangan di tangan kirinya.

Dia hanya tersenyum dan mengangguk ke arahku.

Aku putuskan untuk meninggalkan dia di bawah pohon beringin besar ini. Lalu aku bergegas untuk berjalan-jalan ke seluruh tempat ini.
Karena sangat di sayangkan kalau aku tidak melihat semuanya.
Terlalu sayang untuk di tinggalkan.

Aku melihat disisi kiriku banyak para petani yang memanen padi di sawah yang menguning. Sedangkan disisi kananku banyak sekali orang yang sedang memanen ikan dengan jala dan perahu sampan.

Semuanya rasanya damai sekali disini. Kicauan burung menemani ku saat berjalan dengan perlahan menuju ke sebuah taman bunga matahari.
Tempatnya sangat luas, dan sama seperti yang dulu bahwa disini tidak ada matahari namun terang benderang.

Di tengah-tengah dari taman bunga matahari ini memiliki sebuah air mancur mini yang di kelilingi oleh tempat duduk melingkar di setiap sudutnya. Aku berjalan perlahan dan duduk.

"Haahhh"
Ku lepaskan udara dengan bebas dan ku hirup kembali dalam-dalam. Damai sekali tempat ini.

Ku pejamkan mataku dan bersandar di tempat duduk nan nyaman ini sambil merentangkan kedua tanganku lebar-lebar.

"Ejh!"

Aku langsung membuka mata dengan cepat saat aku mengenali suara itu dengan sangat baik.
Suara yang aku tunggu dari sekian lama sampai sekarang.
Suara yang aku nantikan dari dulu.

"Awan!"...

KASAT MATA (#2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang