Chapter 10 ~ Stohess Arc Act 4

1.3K 198 31
                                    

Hari-hari penantian menunggu hasil uji laboratorium menyebabkan Levi lebih senang mengurung diri di kamar setelah pulang dari tugasnya di Military Police. Sosok ceria Isabel tak dapat meluluhkan hati pria Ackerman itu. Farlan bahkan terpaksa untuk tidur di ruang tamu karena kamarnya dikunci oleh Levi dari dalam. Tiga hari terlewati pasca keputusan penghentian masa kerja visit mereka dan Eren khawatir dengan kesehatan mental mentornya. Dia paham sekali masa-masa seperti ini membuat sosok setegar Levi pun dapat depresi berlarut-larut. Setelah menghabiskan makan malamnya, Isabel menyarankan Eren untuk membawa makanan untuk Levi.

"Aniki mungkin akan menuruti kata-katamu, Eren." ucap Isabel penuh harap. Dengan membawa nampan berisi sepiring ragout ayam dan secangkir teh hitam, Eren mengetuk pintu kamar perlahan.

"Dr.Ackerman, ini Eren. Saya membawakan makan malam anda. Tolong, pintu kamar anda dibuka." ucap Eren lirih. Dia mendengar suara 'Letakkan saja di depan, aku akan mengambilnya nanti' dari dalam kamar. Eren terpaku, memilih duduk menunggu pintu kamar itu terbuka dan menampilkan siluet Levi.

Dua jam menunggu, makanan dan teh hitam sudah mendingin. Isabel sudah tidur di kamar dan Farlan telah terlelap di sofa ruang tamu. Mata Eren sayup sayup memejam, hampir membuatnya berlayar ke pulau kapuk. Akan tetapi, suara selot pintu membangunkannya kembali. Mata cerah Eren kembali segar saat melihat Levi menunjukkan batang hidungnya.

"Dr. Ackerman." sapa Eren setengah mengantuk. Levi terkejut melihat Eren yang menunggunya di depan kamar.

"Kenapa kau belum tidur?" tanya Levi dengan tatapan sulit ditebak.

"Saya menunggu anda keluar karena ingin membicarakan sesuatu. Saya akan memanaskan makanan dan tehnya. Anda dapat menunggu di meja makan." jawab Eren sembari mengambil nampan dari tangan Levi. Pria Ackerman itu tidak dapat mengelak sehingga ia memilih untuk mengiakan keinginan Eren.

Setelah memanaskan makanan, Eren menyajikan makan malam ke hadapan Levi. Dia pun mengambil tempat di seberang Levi.

"Saya belum pernah mendengar kasus seseorang terinfeksi HIV karena kontak luka sepersekian detik dengan pasien HIV." ujar Eren membuka percakapannya dengan Levi.

"Apakah kau mengasihaniku?" tanya Levi balik dengan raut muka kesal. Eren menghela napas dan menggelengkan kepala.

"Saya tidak bersimpati dengan anda, hanya khawatir dengan anda. Saya tidak ingin anda sakit karena terlalu memikirkan sesuatu yang bahkan belum pasti. Itu bukanlah karakter seorang Levi Ackerman yang saya kenal."

"Jadi, karakter Levi Ackerman mana yang kau kenal?" tanya Levi ketus. Dia menyisihkan setengah porsi ragut ayam di piringnya karena tak lagi memiliki nafsu makan. Teh hitam di cangkir telah ia tandaskan sebelumnya.

"Levi Ackerman yang saya ketahui adalah sosok yang tidak overthinking. Dia memiliki idealisme yang tak bisa digoyahkan oleh siapapun dan dengan situasi apapun. Kemungkinan anda terkena HIV sangatlah kecil tapi anda telah membayangkan hal macam macam sehingga anda melupakan jasa anda menyelamatkan seorang manusia. Pandangan saya terhadap anda tidak akan pernah berubah meskipun nanti anda positif terpajan HIV. Anda tetap menjadi panutan dan idola saya. Saya akan terus bekerja keras untuk menjadi pribadi seperti anda." Entah kenapa ucapan tulus dari pemuda netra cerah itu membuat ketakutan di dalam diri Levi lenyap. Kepercayaan diri yang selalu ia agungkan kembali hidup seiring dengan dukungan Eren.
"Aku tak menyangka bocah naif sepertimu bisa menjelma menjadi sosok yang dewasa." tanggap Levi sembari menyembunyikan senyumannya dengan berjalan membelakangi Eren. Eren terkejut ketika mendengar kata 'bocah', seakan-akan dia terlempar ke dalam pusaran waktu saat ia masih duduk di bangku sekolah. Nostalgia itu membuatnya terkenang hal yang manis sekaligus pahit.

Apple and Cinnamon [RIREN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang