Beautiful girl

165 6 0
                                    

Langit gelap disertai gemuruh petir masih sesekali terdengar. Awan tebal membentuk kumpulan awan gelap di atas bangunan menjulang megah nan elit.

Beberapa orang melihat keanehan di langit itu, hingga merinding kemudian buru-buru masuk ruangan yang terang dan ramai. Sangat kontras dengan keadaan di luar yang gelap dan mencekam.

Di salah satu ruangan yang terang,  sekelompok perempuan malah asyik berghibah ria, tak menyadari keanehan tersebut.

"Si gendut belum masuk juga? Lama banget dia bolosnya."

"Kenapa? Kangen?"

"Apa sih? Aku cuman penasaran aja kabarnya gimana setelah video itu?"

"Dia mana punya muka nunjukin diri setelah ditolak mentah-mentah. Kalau aku jadi dia, aku pasti keluar dari kampus ini."

"Yang benar saja. Gadis gendut itu mana punya malu? Dia terus mendekati Leon sejak dulu, padahal sudah jelas Leon enggan berdekatan dengannya. Kalau bukan karena makanannya yang enak, tak ada yang mau berteman dengan gadis tukang makan seperti dia." Terdengar suara cekikikan. Sepertinya bahasan meteka sangat lucu sehingga mereka tertawa.

"Seharusnya dia keluar saja dari sini. Tak ada yang mengharapkan kehadirannya di sini."

Nina geram. Ternyata mereka masih berniat membulinya. Sebenarnya apa salahnya? Ia tidak pernah menyinggung mereka? Tapi kenapa mereka sangat membencinya.

Mencoba mengabaikan apa yang ia dengar, ia pun memasuki ruangan kelas yang bising karena menunggu sang dosen masuk. Seketika suasana kelas hening. Semua mata tertuju padanya. Termasuk tiga orang perempuan yang membicarakannya tadi. Bisik-bisik pun terdengar.

"Siapa gadis cantik itu?"

"Aku belum pernah melihatnya."

Nina tersenyum mendengar pujian itu. Namun ia berpura-pura tak mempedulikannya. Ia berjalan menuju kursi miliknya dengan anggun.

"Permisi, bisa geser dikit, nggak? Aku mau nulis." Katanya pura-pura manis, meski jauh dalam hati ia tak tahan ingin mencabik-cabik tiga rubah bertelinga panjang di samping kursinya.

Perempuan yang duduk di sebelah kursinya, yang bernama Nita itu terlihat tidak suka. Sorot matanya memancarkan raut tidak suka. Meski begitu, ia sedikit menggeser kursinya menjauh.

"Siapa kamu? Kok, kita baru lihat?"

"Kamu mabar? Siswa pindahan?"

Cih, Nina tak sudi membalas mereka. Tapi ia juga sadar ia tak punya siapa-siapa yang akan membelanya. Terpaksa ia membalas mereka dengan senyum manis.

"Bukan, aku teman kalian. Masa kalian lupa." Jawabnya masih memasang senyum manis dan ceria.

"Teman? Kita baru pertama lihat kamu."

"Sebaiknya, jangan duduk di sini. Kursi ini khusus gadis sial. Nanti kamu bisa terbawa sial." Kata temannya yang lain.

Nina melotot. Sorot matanya berkilat marah. Untunglah ia masih bisa menguasai kesadarannya. Hingga bola matanya tidak berubah.

"Tidak ada satu pun manusia yang dilahirkan membawa sial. Tapi perbuatan manusia yang jahat yang membuatnya sial." Jawabnya tajam.

Ketiga gadis itu terkejut, mungkin karena nada suaranya yang tinggi. Bahkan salah satu dari ketiga gadis itu mundur ketakutan dan buru-buru duduk di kursinya. Sedang dua orang lagi hanya cengok, tatapan mereka mendadak kosong.

Nina menyeringai puas. Sudah seharusnya mereka takut padanya. Karena sekarang ia bisa menyingkirkan mereka dengan mudah. Melalui Jinnie tentunya.

Perdebatan tadi rupanya menjadi perhatian seisi kelas tanpa ia sadari. Itu ia ketahui saat ada suara memecah perdebatan kami.

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang