Sinar mentari pagi berhembus dengan sejuk menyinari lingkungan di sekitar bangunan kampus yang megah dan mencoba menerobos masuk menyinari setiap ruangan yang ada.
Meski masih pagi tapi lorong kampus sudah ramai orang. Suara bisik-bisik terdengar saat seorang perempuan bertubuh subur dengan rambut pendeknya lewat.
"Coba lihat anak baru yang gagap itu. Badannya besar seperti buldoser. Ojo dekat-dekat. Nanti tergilas." Bisik seseorang pada temannya yang lain.
"Pasti tak ada lelaki yang menginginkan perempuan sepertinya. Sudah gendut, gagap lagi."
"Bisa-bisa dia jadi perawan tua."
"Betul. Mana ada lelaki yang mau dengan cewek gendut dan gagap sepertinya. Haha..."
Suara tawa cekikikan terdengar mentertawakannya. Gadis bertubuh subur itu menutup matanya, mencoba mengabaikan suara mereka. Tapi hatinya gundah membenarkan ucapan mereka.
Bagaimana kalau memang tak ada yang menginginkannya? Bagaimana kalau ia menjadi perawan tua? Ia tak mau menjadi perawan tua.
Pemikiran itu semakin membuatnya tidak tenang. Hingga tidak terasa ia sudah sampai di kelasnya.
Tiba-tiba pandangannya terpaku pada seorang laki-laki tampan yang sedang memainkan ponselnya. Cucu pemilik kampus ini dan menjadi rebutan banyak perempuan. Pria yang beberapa bulan ini entah mengapa dekat dengannya.
Kalau Leon tak menyukainya, seharusnya Leon meninggalkannya sejak dulu. Tapi Leon selalu berada di sisinya. Itu artinya Leon menyukainya, kan? Mungkinkah selama ini Leon memendam perasaan padanya?
Gadis itu percaya dengan pemikirannya sendiri. Karena selama ini tak ada yang benar-benar dekat dengan lelaki itu kecuali dirinya. Bergegas ia menghampiri lelaki itu selagi kelas ini masih sepi.
Setibanya di hadapan pria tampan itu, ia duduk di kursi yang kosong kemudian menyodorkan kotak makannya dengan tangan yang tiba-tiba bergetar. Bergegas ia menarik kembali tangannya agar Leon tak menyadari tubuhnya yang gemetaran.
"H-hai L-Leon, a-aku bawain k-kamu salad buah. M-mau gak?" Gadis itu bertanya dengan suara terbata-bata.
Leon mendongakkan kepalanya lalu tersenyum padanya. Senyum yang mampu membuat sekujur tubuhnya melemas karena terpesona.
"Nina baik banget, sih. Leon pasti mau dong masakan Nina. Kan, enak-enak masakannya."
Leon segera mengambil kotak makan itu dan membuka tutupnya. Ia tersenyum saat melihat salad kesukaannya.
"Leon makan ya, Leon udah gak sabar." Kata Leon sambil tersenyum manis.
Nina mengangguk senang. Salah satu hal yang membuatnya yakin Leon menyukainya karena Leon selalu memanggil namanya sendiri saat mereka bercengkrama.
Leon mulai memakannya dengan lahap. Gadis itu mengamati pergerakan laki-laki itu membuat lelaki di hadapannya merasa terganggu.
"Kenapa sih lihatin Leon seperti itu? Naksir ya sama Leon? Memang sih ba..."
"I-iya, aku suka sama L-Leon."
"Iya, Leon juga sama Nina." Jawab Leon sambil tersenyum.
Nina melotot." J-jadi, Leon suka a-aku?" Gadis yang mengenakan dress selutut itu nyaris memekik tak percaya kalau Leon menyukainya.
"Kalau Leon gak suka Nina, ngapain kita jadi teman dekat sejak dua bulan yang lalu."
"Apa itu a-artinya Leon adalah pacar a-aku?"
"Bukan. Itu hanya sebatas suka sebagai seorang teman."
"T-tapi, aku beneran suka Leon. Dan aku mau L-Leon jadi pacarku." Katanya tergagap. Tapi ia tak merasa itu kekurangannya karena Leon tak pernah mencela kekurangannya selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Kedua
TerrorBerawal dari perundungan yang dialaminya, membuatnya bertekad akan melakukan segala cara untuk membalas mereka. Nina si gadis satu kwintal, yang dibully karena tubuh suburnya. Tapi nekad menembak cowok populer di kelasnya. Sayangnya, ia ditolak dan...