desa yang aneh

321 13 2
                                    

Nina membuka matanya. Seketika ia terkesiap saat melihat pemandangan orang berlarian di sekitarnya. Terlihat seorang bapak-bapak yang menggendong anaknya dan kemudian membawanya masuk rumah lantas menguncinya sedang anaknya terus menjerit ketakutan. Raut wajah mereka terlihat panik. Nina yang penasaran pun, mencegat langkah salah seorang laki-laki yang sedang berlari sampai terjatuh-jatuh.

"Pak, ada apa? Kenapa semua orang berlari?" Tanyanya setelah menolong pria tadi bangun.

Laki-laki itu menatapnya tak suka. Entah mengapa Nina bisa merasakan kebencian dalam pandangan mata itu.

"Lelembut sedang keluar. Dan dia akan memakan hati-hati yang kotor. Cepat masuk rumah atau dia akan memakan kita." Laki-laki itu sudah berlari kencang menuju rumahnya.

Mau tak mau Nina ikut berlari bersama orang-orang sambil berpikir apa itu lelembut. Namun satu per satu mereka sudah memasuki rumahnya masing-masing, tinggal Nina seorang. Hei, ia sendiri tak tahu bagaimana bisa ia ada di sini. Saat ia membuka mata tadi, ia langsung dihadapkan dengan kericuhan. Apa sekarang ia sedang bermimpi?

Jalanan seketika menjadi sepi. Sore yang gelap itu terasa mencekam. Larinya mulai melambat. Ia celingukan melirik kiri kanannya. Banyak rumah terbuat dari anyaman bambu. Di masing-masing rumah ia melihat ada batok kelapa digantung dengan sejumput padi.

Nina merasa keheranan. Bagaimana ia bisa berada di desa yang terlihat mengerikan ini. Seharusnya saat ini ia tidur di atas sofa, bukan di desa mengerikan ini.

Tiba-tiba angin berhembus dingin meniup tengkuknya membuat bulu kuduknya berdiri tegang. Terkesiap, Nina menoleh ke belakangnya.

Seketika ia membelalak. Sosok mahluk halus besar menyeramkan dengan perut buncitnya yang penuh borok melayang dari balik pepohonan besar mendekatinya.

"Mangan... Mangan..!" Teriak lelembut tersebut senang saat melihat dirinya.

Nina ketakutan. Kini ia mulai ingat apa itu lelembut. Roh halus yang sering mencelakakan manusia.

"Akkh..." Nina memekik sekencang-kencangnya. Kemudian berlari secepat yang bisa dilakukan kaki kecilnya.

Ia berlari menembus jalanan gelap di hadapannya. Nafasnya tersengal-sengal. Ia bisa merasakan lelembut itu semakin dekat. Hingga di depan ia melihat sebuah cahaya kecil. Ia pun berlari menuju cahaya itu, berharap mendapat pertolongan.

Semakin lama cahaya itu semakin besar dan menyilaukan. Harapannya semakin besar apalagi suara lelembut itu semakin kecil terdengar. Hingga ia sampai di depan cahaya itu dan ia terpaku.

Di bawah pohon besar, empat orang laki-laki dewasa, seorang perempuan dewasa duduk melingkar mengelilingi seorang anak kecil perempuan. Tubuh anak itu sangat kurus hingga tulang belulangnya terlihat. Di depan anak itu, terdapat ayam hitam cemani, botol kecil dan pisau.

Tiga pria dewasa itu mengenakan pakaian serba hitam dengan ikat kepala berwarna hitam pula. Mereka seperti sedang melakukan ritual sesat.

Tak lama ia melihat salah satu dari tiga orang lelaki itu mengiris telapak tangan anak itu membuat sang anak yang tadi terdiam tiba-tiba menjerit kesakitan. Nina pun tanpa sadar ikut memekik.

"Akkhh...."

"Siapa itu? Tangkap dia! Jangan sampai lolos."

Nina terbelalak, tak mengira mereka akan mendengar jeritannya. Segera ia berbalik untuk pergi. Namun di hadapannya kini sudah berdiri lelembut tadi. Ia membalikkan badannya ke belakang, tiga orang lelaki berpakaian hitam tadi berderap mendekatinya.

Nina menangis, berharap seseorang menyelamatkannya. Hingga ketika mahluk halus tadi menangkap tubuhnya, Nina kembali menjerit.

'akkhh...'

Hah hah hah....

Nina terlonjak bangun dari tidurnya. Keringat bercucuran dari pelipisnya. Apa-apaan ini? Kenapa mimpinya seram sekali. Untung saja cuman mimpi. Katanya lega.

Mendadak wajah gadis itu berubah pucat. Ia baru menyadari kegelapan di sekitarnya. Ternyata ia masih ketiduran di sofa setelah minum obat tadi. Hanya lampu kecil yang menerangi ruang tengah ini.

"Bi, Bi Inah!" Teriaknya ketakutan.

Sial, kenapa bi Inah tidak membangunkannya dan membiarkannya tidur sendirian di ruang tengah yang luas ini.

"Bi Inah!" Teriaknya lebih kencang. Seketika ia menggeram saat bi Inah tak jua menyahutinya. Lihat saja, akan ia buat perhitungan asisten tak tahu diri itu.

Angin berhembus kencang menerbangkan gorden ruang tengah. Suara anginnya begitu menakutkan seperti suara orang berbisik di telinga membuatnya merinding.

Wush wush...

"Sial, kenapa aku jadi takut gini? Sebaiknya aku menemui bi Inah dan memintanya menemaniku." Ketakutannya membuatnya lupa untuk menghukum bi Inahnya.

Nina menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Dan menurunkan kakinya. Namun baru saja kakinya menginjak lantai, ia kembali dibuat ketakutan.

Di bawah penerangan lampu remang-remang, ia melihat sosok berpakaian panjang serba putih dengan rambut panjang sampai menyapu lantai, turun dari tangga dengan cara... Melayang!

Nina terkesiap. Ini gila! Hidupnya pasti sudah gila. Kenapa ia terus melihat mahluk halus di mana-mana.

Seakan belum cukup tekanan mentalnya, dari arah dapur seorang nenek-nenek merangkak ke arahnya. Rambutnya menjuntai di depan wajahnya. Nina merasa jantungnya dicopot paksa dari tempatnya.

"Pergi... Jangan ganggu aku!" Teriaknya panik saat sosok itu semakin dekat.

"Kau sudah melepaskan kita semua."

"Dan sekarang kami akan selalu mengikuti ke mana pun kau pergi." Kata arwah nenek itu dengan suara serak.

Kedua sosok itu semakin mendekat. Dari jarak dekat, Nina bisa melihat betapa hancurnya sosok perempuan itu. Rongga matanya kosong, hanya ada belatung bergelantungan di sana. Sedang sosok nenek itu terlihat lebih mengenaskan karena ia seperti tidak mempunyai tulang. Setiap ia bergerak, seluruh tubuhnya meliuk seperti ular.

"Pergi... Jangan ganggu aku!"

"Setiap yang sudah melakukan perjanjian, ia akan kembali pada pemiliknya." Kata arwah perempuan dan nenek itu berbarengan. Suara mereka yang kering bergaung di ruang tamu yang senyap ini.

Nina kena mental. Ia tertunduk ketakutan dan berharap ia pingsan saja namun kegelapan tak jua menyerangnya.

Dua sosok mahluk halus itu semakin dekat padanya. Tangan keriting dan pucat itu terulur untuk mencekiknya. Sedikit lagi tangan itu sampai di lehernya, Nina pun memekik sekencang-kencangnya.

Braakkk....

Suara pintu terbanting kencang. Dua sosok mahluk halus itu pun menghilang.

"Non... Non Nina kenapa?" Teriak bi Inah tergopoh-gopoh.

Nina terdiam, pandangan matanya kosong. Bi Inah berinsiatif mengambil air di gelas lalu mencipratkannya ke wajah Nina membuat Nina mengerjap.

"Non... Non kenapa teriak-teriak?"

Tiba-tiba Nina mencekik bi Inah." Kenapa kau biarkan aku tidur di sini sendiri? Kenapa tidak membangunkanku?"

Bi Inah terbatuk. Setiap ia ingin bicara selalu batuk yang terdengar. Perlahan Nina melepas cekikannya dan memandang bi Inah dengan tatapan kebencian.

"Sekarang jawab, kenapa tidak membangunkanku?"

"Non Nina sendiri yang bilang ingin tidur di sini." Jawab Inah sambil mengelus lehernya yang masih sakit.

Diam-diam tubuhnya bergerak menjauhi Nina. Takut kejadian tadi terulang lagi. Sedang Nina bingung. Benarkah ia bicara begitu? Bukannya kalau dalam pengaruh obat, ia tidak bisa bangun. Jangankan bicara, menggerakkan tubuh saja tidak bisa.

Nina merapatkan tubuhnya ke sofa. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa hidupnya jadi menakutkan seperti ini.


Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang