Bag 5: Ditinggal Menikah

3.5K 129 6
                                    


Malam ini mataku kembali tak bisa terpejam. Pikiranku seperti melayang-layang. Seperti ada beban ribuan ton yang kian menyiksa bathin.

Setelah mengisi acara Maulidan di Masjid depan rumah, kembali terbayang-bayang wajahmu yang selama ini mengisi salah satu sudut hatiku, hampir tiga tahun ini.

Pesona wajah ayumu dan kepolosanmu, tak bisa kuhapuskan dalam angan.

Kuakui memang salah, tapi perasaan ini seperti tak bisa kukendalikan.

'Sabar Dik Hana, akan kuhubungi lagi dirimu setelah mencari waktu yang tepat,' batin hatiku yang kian hari semakin merindu.

Duduk termenung di sofa yang terletak tak jauh dari ranjang tempat tidur.

Ku pandangi fotomu yang satu-satunya kumiliki, yang kusimpan rapi dalam
sapu tangan pemberianmu.

Tak ada satu orangpun yang tahu keberadaan foto ini. Karena selalu kuselipkan dalam salah satu Buku Kitab Kuningku.

"Abi, kog belum tidur? Sudah malam sayang...," suara wanita mengagetkan lamunanku. Entah sejak kapan dia terbangun dari tidurnya.

Wanita yang sudah kunikahi sekitar sepuluh bulan yang lalu.

Segera kututup buku kitabku. Dengan terburu-buru kuselipkan kembali foto Dik Hana. Dan segera meletakkan buku kitab di rak buku bagian paling atas.

"Iya sayang, tiba-tiba kog pikiran jadi nggak tenang. Apa gara-gara mikirin Umi yang bentar lagi mau lahiran ya?" jawabku sambil berjalan menuju ke arahnya.

Kuekspresikan wajahku setenang mungkin. Jangan sampai istriku Lia, menjadi curiga.

Kuciumi perut buncitnya, melingkarkan tangan di bahunya. Dan merebahkan perlahan tubuhnya yang kian hari semakin terlihat kepayahan.

"Bobok lagi ya sayang...," sambil kucium keningnya dan kupijit pelan pinggangnya yang katanya sering ia rasakan pegal.

☘☘

Usia kehamilan Lia yang berjalan menuju sembilan bulan, membuatku harus lebih memperhatikannya. Tak berani kutinggalkan dia sendiri di rumah. Kecuali ketika ada acara undangan ceramah pengajian, atau undangan membacakan Al- Quran seperti hari ini.

Kebetulan hari ini ada undangan untuk membacakan ayat Al-Quran di salah satu teman alumni pondok.

Kumanfaatkan waktu ini untuk menghubungi Dik Hana, sedih menyelusup hati ketika mengingat telah menghianati kepercayaannya.

Meskipun aku tahu kalo ini salah, aku belum berani benar-benar melepaskannya.

Entahlah, akan disebut apa diriku ini? Pecundang kah?
Penipu kah? Atau sebutan lainnya, aku tak peduli!

Yang terpenting aku harus segera menghubungi Dik Hana kali ini. Mumpung, aku sedang keluar dan tak diketahui oleh Lia.

Sebelum pulang menuju ke rumah, kutepikan mobil yang kukendarai di tempat yang sepi.

Kuambil kartu sim yang kuselipkan dalam salah satu saku dompetku.

Kumatikan ponsel, kuganti kartu sim dengan kartu yang kuambil tadi. Dan kembali mengaktifkan ponsel.

Terdapat puluhan chat yang masuk, yang ku ketahui pasti dari Dik Hana.

Kubaca pesan satu-satu. Dan ... apa ini? Salah satu pesan yang membuat hatiku bersedih dan tak rela.

[ Maaf mas, kurasa aku tak bisa menunggumu]

[ Wanita butuh kepastian mas]

[Semoga impian mas segera tercapai]

Seperti yang sudah-sudah, semoga ini hanyalah gertakan saja darinya.
Ketika dia menanyakan kepadaku untuk melamarnya. Aku memang tak bisa punya kata untuk menjawabnya.

"Tunggu mapan dulu dek, belum siap dek, mau mondok dulu dek," jawaban-jawabanku yang mungkin membuatnya bersedih karena tidak ada jawaban kepastian.

Aku tidak bisa membayangkan ketika dia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Segera kupencet tombol hijau, dan memilih kontak nama yang kusimpan dengan nama samaran 'kalam'.

Tuut...tuut...tuut....

Bunyi nada panggilan terhubung, tak sabar ingin segera mendengarkan suaranya. Rindu di dada kian menyiksa.

"Assalamu'alaikum...," suara serak di seberang sana, yang mungkin sedang menahan tangis.

Kuhela nafas, serasa ada yang menghimpit di dada. Entah rasa bersalah, entah rasa rindu.

'Maafkan aku Dik Hana....' kalimat yang hanya terucap di dalam hati.

"Wa'alaikumussalam," jawabku dengan mencoba setenang dan setegar mungkin.

"Gimana kabarnya dek?" tanyaku padanya.

"Alhamdulillah baik," dia menjawab dengan singkat. Dan disusul dengan hembusan nafas berat.

"Gimana kabar Bapak dan Ibu, Dek?" tanyaku lagi.

"Alhamdulillah juga baik," jawabnya singkat dengan diiringi isak tangis.

Entah mengapa hatiku merasa sesak dan sedih menyadari kebodohan dan kesalahanku ini.

Aku pun terdiam, bingung mau ngomong apa. Hingga kami sama-sama hening.

"Mas..., aku mau memberikan kabar."

"Hiks ... hiks ... hiks ...," suara isak tangisnya yang semakin kencang.

Kubiarkan dia berbicara dan bercerita. Kudengarkan dengan baik suara yang selama ini kurindukan.

'Ya Allah, Ya Rabb, maafkan Hamba-Mu ini,' batinku lagi.

"Maafkan aku ... hiks ... maafkan aku, Mas, InshaAllah bulan depan, aku mau nikah."

Deg....

"Maafkan aku, hiks .... Maafkan aku yang tidak bisa lebih lama menunggumu. Wanita butuh kepastian, Mas. Sudah cukup rasa sakit dan penantianku selama ini, semoga Allah melancarkan dalam menuntut Ilmu, dan segera tercapai segala impian," sambungnya lagi masih diiringi isak tangis yang terdengar memilukan.

Entah mengapa, hatiku bertambah sakit mendengarnya. Impianku yang juga ingin hidup bersamanya, akhirnya kandas dan tinggal kenangan.

Next

Mohon Kritik dan Saran.
Penulis pemula, butuh sekali masukan.

Tolong jangan pelit kasih bintang ya.. dan tinggalkan komentarnya.

#Catatan_seorang_perantau
#Sangatta_kota_tercinta
#Bumi_Etam

Jodoh Tepat Waktu (Proses Menuju Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang