Bab 19: Kepingan Masa Lalu

7.6K 322 120
                                    

Sesampainya di rumah, kami dikagetkan dengan tingkah si gendut Aqila putrinya mbak Mirna. Duduk bersila di lantai ruang tengah. Menumpahkan bedak bayi ke mangkuk plastik dicampur dengan minyak kayu putih hingga bercecer-cecer mengotori lantai.

"Qilaaa, kog ditumpah-tumpah? Dimarahin Mbah Uti lho ...." ucap Mas Afnan gemas.

"Mbah Uti mana?" sambung Mas Afnan lagi.

"Masak," jawabnya cuek. Sambil lagi-lagi menumpahkan bedak di lantai. Hingga wajah dan bajunya hampir semua tertutup bedak.

"Salim dulu sama Tante," ucapku menyambutnya.

Aqila malah geleng kepala sambil senyum malu-malu.

"Halah, gayanya malu-malu," ucap Mas Afnan melihat tingkah Aqila.

"Yang ngantar ke sini siapa, La?" tanya Mas Afnan sambil duduk di sofa.

"Bapak."

"Lha, Ibukmu, mana?" tanyaku.

"Kelja."

"Oh, sudah masuk lagi to, Mas?"

"Iya, ijin sehari aja kemarin," jawabnya.

"Nanti kamu pulang aja ya diantar Om, bobok di rumah aja," canda Mas Afnan.

"Nggak mau! Mau bobok sama Mbah Uti!" teriak Aqila.

"Udah Aqila, jangan dibuat mainan terus bedaknya, bikin kepleset, lho. Tak bilangin Mbah, ya ...."

Aku hanya diam, dan memperhatikan mereka berdua. Jadi ngebayangin kalo sudah punya anak nanti. Lucu juga. Hihihi.

Kata Mas Afnan, Mbak Mirna dan Aqila memang tiap harinya tidur di sini. Kecuali saat hari libur, mereka sering pulang untuk bersih-bersih rumah. Aqila sering demam kalo tidur lama-lama di rumahnya sendiri. Mungkin karena sudah terbiasa dekat dengan Mbah Uti. Untuk suaminya, terkadang tidur di rumah sendiri, terkadang tidur di sini.

Mbak Mirna yang hamil kembar sudah berjalan sekitar lima bulan, sampai sekarangpun masih kerja. Rencananya mau resign saat sudah mendekati lahiran.

Setelah mengetahui ada yang mempunyai keturunan kembar di keluarga Mas Afnan, baik dari mbah putri maupun mbah kakung, pikiranku sedikit dilingkupi rasa was-was. 'Bagaimana kalo nanti aku juga hamil anak kembar?'

Kata kebanyakan orang, kalo ada keturunan kembar kemungkinan besar juga bisa mengandung bayi kembar.

Semoga nanti aku dikasihnya satu-satu dulu saja. Nggak bisa ngebayangin kalo hamil anak kembar terus lahiran di Kalimantan kayak apa repotnya.

Tapi kalo takdir berkata lain. Aku tetap harus terima. Kita sebagai manusia bisa saja merencanakan maupun menginginkan sesuatu, tetapi tetap saja Allah yang akan menentukan.

"Laaa, Qilaa ... kog ya ditumpah-tumpah bedake. Bocah iki pancen super," pekik ibu yang tiba-tiba muncul dari pintu dapur.

Sedangkan aku dan Mas Afnan hanya geleng-geleng kepala duduk di kursi ruang tengah menyaksikan tingkah Aqila.

"Nduk, sarapan dulu. Ibu masak bubur," ucap ibu sambil mengambil bedak dan minyak kayu putih di tangan Aqila.

"Hehe, nggih, Bu," jawabku sungkan.

"Ayo, cepet ambil buat sarapan. Mumpung masih anget."

Aku beringsut mengekor Ibu menuju dapur.

"Banyak sekali, buburnya, Bu?" ucapku sedikit terkejut melihat satu panci besar yang terisi penuh bubur putih.

"Iya, mau tak bagi-bagikan. Di sini kan sedulur semua, Nduk. Mbakyu, Kang, semua kumpul sedeso," ucap Ibu sambil membagi setengah bubur putih ke panci satunya.

Jodoh Tepat Waktu (Proses Menuju Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang