Bab 13: Terungkap

3.3K 127 4
                                    

"Siapa Asma, Mas? Kayaknya tadi ngomongnya serius banget," tanyaku penasaran.

Kucoba berekspresi sebiasa mungkin. Aku tidak boleh berprasangka buruk terlebih dahulu. Apalagi kami baru saja saling mengenal. Masih banyak hal lainnya yang belum kuketahui tentang Mas Afnan.

"Kog adik tahu Asma? Memangnya tahu darimana?" tanya Mas Afnan mengalihkan pertanyaanku.

"Maaf ya, Mas, bukannya lancang. Tadi pagi sebelum Mas pulang dari Mushola, Handphone Mas bunyi terus, pas ku cek ternyata ada panggilan masuk dari Asma.

Panggilan pertama kuabaikan, terus dia manggil lagi. Ya, kuangkat saja. Siapa tahu kan, penting. Eh, malah katanya salah sambung. Trus panggilannya dimatikan" jawabku panjang lebar, mencoba menahan gemuruh di dada.

'Katanya tadi pagi salah sambung, kog nelfon lagi,' batinku kesal.

"Tadinya mau kutanyakan langsung sama Mas. Tapi malah Kiki tiba-tiba masuk kamar. Memang siapa sih, Asma? Mantan Mas?" tanyaku lagi.

"Ck, mantan apa?" jawab Mas Afnan cuek.

"Ya mana aku tahu? Kalo bukan mantan, kenapa pagi-pagi sudah nelfon Mas? Pas tak angkat ngomong salah sambung lagi. Mencurigakan," jawabku kesal.

Sebel juga sama Mas Afnan, ditanya serius malah males-malesan jawabnya.

"Dia itu istrinya temen kerjaku, Dik. Mau minjem uang," jawab Mas Afnan singkat.

"Minjem uang? Emang suaminya kemana?" tanyaku heran.

"Setahuku masih kerja. Kita sekarang nggak pernah ketemu lagi. Soalnya sudah beda lokasi. Ngomongnya sih, Deni sudah nggak ngirimin uang lagi, sudah hampir delapan bulan," jawab Mas Afnan lagi.

"Memangnya Mas nggak nanya gitu, kenapa Deni nggak ngirim uang?" tanyaku semakin penasaran.

"Nggak mau ikut campur, males juga sebenarnya," jawabnya singkat.

"Males kenapa? Memangnya minjemnya berapa?" tanyaku lagi.

"Males sama orangnya. Ngomongnya minjem, tapi juga nggak dibalikin. Sampe lupa berapa, orang berkali-kali minjemnya," jawab Mas Afnan cuek sambil mengambil beberapa baju yang digantung di belakang pintu.

Hemm, jadi karena masalah uang? Sebenarnya masih penasaran saja sama si Asma itu. Tapi kuurungkan bertanya panjang lebar. Kalo masalah uang, aku belum mau terlalu ikut campur. Mas Afnan mau nerusin bayar cicilan hutangku saja sudah bersyukur.

Sejak awal aku sudah bicara jujur kalo masih punya tanggungan motor, dan tanggungan hutang karena ditipu sepupu. BPKB motorku telah digadaikannya.

Entah ke mana sepupuku itu, sampai sekarang juga nggak ada lagi kabar darinya.
Yang ada, hanya hutangnya saja yang terpaksa harus kubayar.

Miris bukan? Sepupu yang kupercaya, meskipun berkali-kali aku telah dikecewakan. Tapi masih saja kupercayai dan kuberi kesempatan.

Kupikir dia telah berubah. Tapi ternyata dia hanya pandai bersilat lidah. Bisa-bisanya memanfaatkan kepercayaan saudara sendiri.

Ngakunya, dia adalah seorang Manager di sebuah perusahaan. Setelah akhirnya kuketahui bahwa dia hanyalah karyawan biasa, WhatsApp, Facebook, dan Instagramku diblokir.

Padahal sebenarnya aku juga sudah berniat memaafkan. Tak mungkin juga aku mengatakan kepada tetangga-tetangga yang sebenarnya. Karena Ibu tidak pernah mengajarkan seperti itu. Biarlah terbuka dengan sendirinya.

Ketika kuutarakan semuanya sama Mas Afnan, Malah dijawab, "uang suami kan uang istri, nanti ditanggung berdua cicilannya."

Waktu itu aku belum terlalu mengerti kalo minjem uang di Bank buat beli motor itu ternyata riba. Karena kurangnya ilmu, kufikir yang dosa hanya yang mendapatkan bunga saja.

Jodoh Tepat Waktu (Proses Menuju Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang