Bab 12: Teka-teki

3.5K 129 4
                                    

Bisa-bisanya kami dibuat salah tingkah oleh Kiki. Untung saja Ibu nggak lihat. Kayaknya memang harus di perantauan nanti bermesraannya, biar aman. Hehehe.

Mas Afnan sempat menawarkan menginap beberapa hari di dataran tinggi Dieng, setelah acara boyong temanten nanti.

Tentu saja tawaran itu kutolak. Sungkan juga sama keluarga Mas Afnan.

Ya meskipun sebenarnya keluarga Mas Afnan sudah pasti memaklumi. Tetapi perasaan sungkan selalu terbayang-bayang.

Menurutku lebih baik memanfaatkan waktu cuti Mas Afnan yang tersisa, digunakan untuk silaturrahim di tempat saudaraku, maupun di tempat saudara-saudara Mas Afnan. Mengingat tiga minggu lagi kami sudah berangkat ke Kalimantan

"Dik, sebenarnya Bapak menyarankan Dik Hana ditinggal dulu tiga bulan, biar lebih mengenal keluarga. Kira-kira gimana? Mau nggak kalo ditinggal dulu tiga bulan? Atau mau ikut langsung?" tanya Mas Afnan saat telepon waktu itu.

"Maaf, Mas, bukannya gimana-gimana, tapi kita saja belum saling mengenal, mosok mau ditinggal? Kalo Mas Afnan sendiri maunya gimana?" tanyaku balik ke Mas Afnan.

"Maunya juga langsung ikut saja. Tapi barangkali mau ngikutin saran Bapak, pengen ditinggal dulu gitu. Soalnya setelah ke sini . Pulangnya nanti satu tahun sekali," jawab Mas Afnan.

"Nggak apa-apa, Mas. Meskipun pulangnya setahun sekali, yang penting ikut suami. Mau dibawa kemana saja aku manut," jawabku lagi.

"Oke, nanti tak telfon orang rumah. Mau ngabari kalo Dik Hana maunya langsung ke sini saja setelah nikah. Fix ya? Soalnya kalo sudah mantep, aku langsung mau nyari kontrakan mulai sekarang, sekalian nyari barang-barangnya buat isi rumah," ucap Mas Afnan ketika masih di Sangatta.

🍀🍀🍀

Baru saja ingin menanyakan siapa Asma sebenarnya, eh malah pintu tiba-tiba terbuka.

Pintu yang memang tak bisa dikunci membuatku semakin was-was. Bagaimana nanti kalo tiba-tiba Kiki membuka pintu lagi saat kami sedang melakukan sesuatu.

Kiki yang masih polos, tak mengerti bahwa Tantenya sedang menikmati masa-masa pengantin baru.

Mungkin karena merasa senang mempunyai Om baru, jadi selalu saja mencari perhatian Mas Afnan dengan kecerewetaan dan dengan segala tingkahnya.

Dengan polosnya Kiki berhambur masuk kamar dan naik ke atas ranjang, ikut bercengkerama dengan kami. Berceloteh ini dan itu.

"Om ... bulungku mati," celoteh Kiki sambil duduk di pangkuan Mas Afnan.

"Lho, kog bisa mati, Mas Kiki?" tanya Mas Afnan antusias.

"Ailnya habis. Bapak lupa ngasih ail minum bulung. Jadinya mati bulungnya, kasihan," ucap Kiki bersungut lucu.

Kiki sudah lancar ngomong semenjak umur satu tahun. Jadi sekarang bertambah cerewet, dan ngomongnya nggak berhenti-henti.

Hanya saja Kiki belum bisa mengucap, "r." Kalo untuk huruf yang lain sudah jelas pengucapannya.

"Mas Kiki kalo mau masuk kamar Tante, ketuk pintu dulu ya? Nggak boleh kalo langsung masuk gitu aja," ucapku sambil mencubit pipinya pelan. Gemas dengan tingkahnya.

Entah mendengarkan atau tidak, dia malah asik tertawa terpingkal-pingkal gara-gara digelitik pinggangnya oleh Mas Afnan.

Disusul dengan canda tawa mereka. Entah apa saja yang mereka bicarakan. Karena kuputuskan keluar kamar dan menuju dapur. Mengingat Ibu paling nggak suka kalo anaknya suka bermalas-malasan.

Kulihat Ibu dan Mbak Yana sudah berkutat di dapur. Mbak Yana sedang mengupas kelapa tua, sedangkan Ibu menyapu lantai dapur yang masih berupa tanah.

Jodoh Tepat Waktu (Proses Menuju Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang