Bab:14 Rasa Ini

3.2K 128 4
                                    

"Pernah punya pacar?" Kugigit bibir bawah. Menunggu jawaban. Entah jawabannya akan membuatku lega atau malah membuatku kecewa.

"Hemm, pernah nggak ya?" jawabnya pura-pura mikir.

"Nggak ada yang mau, Dik, hehe...."

"Masa, sih?" tanyaku setengah tidak percaya.

Mas Afnan malah senyum-senyum.

"Halah, aku nggak percaya." Iseng kutoel hidung mancungnya dengan busa sabun.

"Hey! Awas ya," pekiknya kaget.

Tangannya segera meraih busa sabun di ember, ingin membalas kejahilanku.

Saat busa sabun akan diarahkan ke mukaku, dengan cepat kututup muka dengan kerudung yang kupake.

"Hemm, tunggu pembalasanku nanti," ucapnya sambil menempelkan busa sabun ke tanganku.

"Ish, dasar!"

Tak kehabisan akal, segera kuusapkan busa yang menempel di tanganku, ke lengan tangan kirinya.

Seketika kami terkikik bersama.

"Jawab yang serius lah, Mas...."

Berharap Mas Afnan mau cerita yang sebenarnya.

"Penasaran, apa penasaran banget?" tanyanya sambil menaik turunkan alis.

"Halah, nggak mau cerita ya sudah," jawabku pura-pura ngambek.

"Seger banget, Dik, airnya. Biasanya emang sepi gini kah?" tanyanya sambil membasuh muka dengan air.

"Nggak juga," jawabku kesal. Ditanya serius malah mengalihkan pembicaraan.

Kalo dipikir, suasana hatiku lagi sensi banget. Mungkin efek capek dan datang bulan. Jadi, bukannya senang diajak bercanda. Malah semakin kesal. Kenapa Mas Afnan nggak jujur saja?

🍀🍀

Hening, hanya suara gemericik air yang terdengar.

Aku masih sibuk mengucek baju yang sudah kurendam air sabun. Setelah selesai, segera kuletakkan di depan Mas Afnan. Dan kulihat Mas Afnan dengan sigap membilasnya.

Teringat masa kecil dulu, ketika menemani Mbak Eva atau Mbak Yana mencuci baju, aku tidak diperbolehkan mengucek atau menyikat. Katanya takut cuciannya tidak bersih, dan takut terlalu berlebihan memberi sabun. Hanya diperbolehkan membantu membilas saja.

Melihat Mas Afnan dengan sukarela membantuku, dalam hati bersyukur.
Jarang ada lelaki yang mau membantu istri melakukan pekerjaan seperti ini.

"Dik," panggilnya memecah keheningan.

"Hemm...."

"Dik," panggilnya lagi.

"Apa sayang...." jawabku iseng.

Tiba-tiba....

Cup!

Mendaratlah kecupan bibir dinginnya di pipi kananku.

Aku terpekik kaget.

"Ih, Mas! Gimana kalo ada yang lihat?" ucapku sambil mencubit pinggangnya, menutupi rasa gugup dan malu. Menoleh ke kanan dan ke kiri takut ada orang yang melihat.

"Nggak ada siapa-siapa. Hehe.... Makanya jangan cemberut," ucapnya sambil mengusap pinggang yang kucubit.

"Mas juga sih, ditanya serius, malah bercanda terus," jawabku kesal.

"Coba panggil lagi kayak tadi, Dik."

"Panggil apa?" jawabku pura-pura bodoh.

"Itu tadi."

Mas Afnan malah senyum-senyum. Bikin gemes. Pengen balas ngecup, eh!

Sadar Han, ini itu di sendang. Harus jaga sikap.

"Nggak tahu. Tadi apa?"

"Sayang...."

"Emoh."

"Pelit."

"Biarin, makanya jujur saja lah," ucapku berharap.

"Nggak usah bahas itu, Dik. Nanti malah bikin sakit hati," ucapnya sambil memeras baju yang sudah dibilas.

'Sakit hati? Yang sakit hati aku atau dia?'

Jawaban Mas Afnan masih menimbulkan teka teki.

Masa, orang setampan Mas Afnan nggak ada yang mau? Aku masih belum begitu percaya.

Setelah dipikir, memang ada benarnya juga omongan Mas Afnan. Mengungkit masa lalu hanya akan membuat sakit hati.

Lukaku saja belum benar-benar kering, dengan bodohnya malah mau menambahkan luka lagi.

'Masa bodo ah, dengan masa lalu Mas Afnan, toh aku pun juga punya masa lalu,' batinku menghibur diri.

Sesekali mencuri pandang ke arahnya. Terlihat kembali fokus memasukkan baju yang sudah diperas ke dalam ember. Tapi tak ada seulas senyum lagi di bibirnya.

"Ngelihat terus nggak bosan?"

"Siapa yang ngelihat? Dih geer!" ucapku salah tingkah. Ternyata Mas Afnan sadar kalo kuperhatikan. Jadi malu sendiri.

Kalo dipikir, Mas Afnan kurang apa coba? Ganteng, mapan, trus manut sama orang tua. Mas Afnan kalo ngomong selama ini juga halus. Kayaknya bukan tipe laki-laki yang suka membentak. Hanya saja kadang tampangnya aja yang dingin membuatku bingung harus berbuat apa.

"Mas, kata temanku, Kalimantan itu sinyalnya susah. Trus dekat hutan-hutan. Emangnya bener?" tanyaku penasaran.

"Tergantung Kalimantan mana,Dik. Kalimantan kan luas. Tambangnya juga banyak. Kalo yang kita tempati nanti itu sudah termasuk kota, Dik. Tempatnya sudah rame. Jadi mau nyari apa-apa gampang. Tetangganya juga banyak," jawab Mas Afnan panjang lebar.

"Oh, kirain tinggalnya di hutan, syukurlah kalo begitu," ucapku lega.

🍀🍀

Tak terasa waktu bergulir dengan cepat. Matahari semakin terik dan menyengat kulit.
Akhirnya selesailah pekerjaan mencuci baju dan tikar.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya akan datang ke sini bersama Mas Afnan.

Ember yang terisi penuh dengan baju basah, terasa semakin berat. Tak kuat kalo tanganku menjinjingnya sampai di rumah.

"Tolong angkatkan ke punggungku ya, Mas. Mau kugendong saja," ucapku sebelum Mas Afnan mengangkat tikar.

Dengan telaten Mas Afnan membetulkan gendongan emberku sebelum ku bawa pulang. Memastikan tak akan ada pakaian yang tercecer nantinya.

"Berat ya? Sudah enak belum posisinya?" tanyanya khawatir.

"Lumayan, yuk cepat pulang. Mas yang jalan di depan saja," ucapku sambil sesekali menghentakkan pelan ember yang kugendong, seolah mau melorot ke bawah.
Berat. Tangan kananku merasakan kesemutan.

Menunggu Mas Afnan meletakkan tikar di bahu kirinya, sambil kutenteng ember kecil yang berisi sabun ditangan kiri.

Berjalan beriringan meninggalkan Sendang.
Menanjaki beberapa jurang. Berjalan hati-hati, takut terpeleset karena jalanan yang masih licin.

Memperhatikan baju Mas Afnan yang basah semua, dan beberapa kali Mas Afnan membenarkan posisi tikar-tikar yang dipikul. Membuatku merasa kasihan.

Sepertinya, rasa dihatiku bukanlah rasa yang salah. Semakin hari, rasa ini semakin besar untukmu suamiku.

Mas Afnan suamiku, bolehkah aku mencintaimu?

Next...

Kritik dan saran sangat diharapkan.😍😍
🍁🍁

#Catatan_Seorang_Perantau
#Sangatta_Kota_Tercinta
#Bumi_etam

Jodoh Tepat Waktu (Proses Menuju Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang