Bab 18: Jalan-jalan

4.3K 153 11
                                    

Kepala terasa berdenyut memikirkan beban persoalan yang rumit. Untuk memejamkan mata rasanya sulit.

Sepertinya badanku juga mau masuk angin, karena sekujur tubuh rasanya sakit. Semakin ku rapatkan selimut supaya mengurangi hawa dingin yang menyeruak menembus tulang.

Menoleh menatap wajah Mas Afnan yang sudah terlelap. Ingin kurengkuh tubuhnya untuk menyandarkan segala beban pikiran dan menumpahkan segala isi hati.

Namun aku belum seberani itu. Masih terlalu canggung dan masih belum benar-benar mengenalnya. Takut nanti dianggap berlebihan dan takut kalau saja dia menjadi merasa terganggu oleh sikapku. Karena sepertinya Mas Afnan juga sama letihnya denganku.

Sayangnya aku tak mengetahui persoalan yang dihadapinya. Aku berharap Mas Afnan bisa lebih terbuka. Apa mungkin Mas Afnan belum ada rasa percaya terhadapku?

Andai Mas Afnan bisa sedikit jujur saja tentang Salwa dan masa lalunya, pasti aku juga akan memaklumi.

Memaklumi? Yakin, bisa memaklumi? Apa nggak akan cemburu? Ah, jadi dilema sendiri kalo seperti ini. Batinku seolah berperang.

Seumpama mengetahui masa lalunya, pasti aku juga akan sakit hati. Tapi kalo tak mengetahui, semakin dibayangi rasa curiga seperti sekarang ini.

Ya sudahlah khusnudzon saja. Daripada stres memikirkannya. Mungkin aku harus instropeksi diri sebelum menuntut sikap Mas Afnan.

Kembali mengingat nasihat-nasihat tentang pernikahan. "Masa lalumu biarlah menjadi rahasiamu, masa lalu suamimu biarlah menjadi rahasianya. Tak perlu mengungkit-ungkit masa lalu. Tataplah masa depan bersama untuk meraih Ridho-Nya. Jangan mencari-cari kesalahan tiap pasangan. Karena manusia tak ada yang sempurna."

Ya, sepertinya aku harus bersabar, dan tak perlu mengorek-orek masa lalunya. Biarkan mengalir apa adanya. Sebagai seorang istri tak sepantasnya menaruh curiga yang berlebihan terhadap suami. Nanti pasti terbuka sendiri saat tiba waktunya. Batinku menenangkan diri.

🍀🍀🍀

Mata terbuka. Kurasakan sesuatu yang aneh di dahi. Ternyata ada handuk kecil yang menempel.

Ku ambil dan meletakkannya ke baskom yang berada di samping ranjang.

Badan sudah terasa lebih enak daripada tadi malam.

'Ke mana sekarang Mas Afnan? Sejak kapan dia terbangun merawatku?' Dalam hati merutuki karena tanpa sadar telah merepotkan.

"Sudah enakan, Dik? Diminum dulu madu hangatnya," ucap Mas Afnan masuk kamar sambil membawakan segelas air yang mungkin telah dicampur madu. Dilihat dari pakaiannya sepertinya sudah selesai sholat subuh.

Aku jadi malu. Di rumah mertua bisa-bisanya bangun kesiangan. Nanti dikira habis macam-macam.

"Maaf, Mas, malah merepotkan," ucapku canggung.

"Jangan bilang begitu, Dik. Istirahat lagi ya. Mau aku pijit?"

"Nggak usah, Mas. Mau bangun saja. Sudah jam berapa ini?" tanyaku sambil meminum air madu yang diberikannya.

Segelas air hangat dicampur madu memang terasa menghangatkan dan mampu menyegarkan badan jika diminum setelah bangun tidur.

Air madu juga mempunyai banyak khasiat. Salah satunya mampu mengobati penyakit asam lambung, jika dicampur dengan perasan jeruk lemon.

"Masih jam lima. Sudah nggak panas kayak tadi," ucapnya sambil menyentuh dahiku.

Perhatiannya membuatku tak nyaman.
Terlalu berlebihan menurutku, sampai dikompres segala. Nanti juga akan sembuh sendiri. Mungkin karena aku sendiri yang belum terbiasa.

Jodoh Tepat Waktu (Proses Menuju Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang