Bab 7: Akad Nikah

3.5K 134 4
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya Hana Khoirunnisa Binti Agus Sulaiman dengan seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar sepuluh juta rupiah dibayar tunai."

"Sah...," sahut para saksi dan tamu yang hadir di acara ijab qabulku.

Lantunan doa terdengar memenuhi halaman depan rumah.

Rasa haru membuncah di dada. Seolah tidak percaya atas perjalanan jodohku yang misterius ini.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Akan berjodoh dengan pria berkaca mata ini. Memang, kami ternyata sekolah di SMK yang sama. Tapi karena selisih empat tahun, kami tidak pernah bertemu.

Kini statusku yang lajang sudah berubah, menjadi seorang istri dari pria yang baru beberapa bulan terakhir kukenal.

Sekarang benar-benar terbukti. Bahwa, jodoh akan datang tepat pada waktunya.

Yang pacaran selama lima tahun, belum tentu berjodoh dengan pacarnya. Yang mengharapkan seseorang menjadi jodohnya, belum tentu seseorang tersebut menjadi jodohnya.

Contohnya aku sendiri, yang mengharapkan Mas Hasan menjadi jodohku, karena ternyata kami tidak berjodoh, akhirnya kami dijauhkan. Sedangkan Mas Afnan yang notabene jauh di pulau seberang, karena berjodoh denganku, akhirnya didekatkan. Seperti inilah skenario Allah tentang jodoh.

Kita hanya dituntut untuk memperbaiki dan memantaskan diri, supaya mendapatkan jodoh yang baik.

Berhubung pelaksanaan ijab qabulku hari ini adalah hari Jum'at, maka serangkaian resepsi akan dilaksanakan pada esok hari.

Pendamping pengantin pria, setelah selesai beramah-tamah dan menikmati hidangan, akhirnya serentak pamit pulang, termasuk Bapak dan Ibu mertua beserta rombongan keluarga.

Sedangkan saudara-saudara dan tetangga masih ada beberapa yang masih bertahan di tempat duduknya.
Bercengkerama entah saling bertukar cerita apa.

"Pulang dulu ya, Le? Besok pagi ke sini lagi," ucap Ibu mertua sambil mengusap sudut matanya yang nampak keluar air mata.

"Nggak nanti-nanti dulu, Buk?" sahut Ibuku sambil menyalami mereka.

"Nanti malah telat Jum'atannya. Titip anak saya ya,Pak,Bu?" kini yang menimpali gantian Bapak mertua sambil memeluk dan mencium Mas Afnan.

Aku dan Mas Afnan menyalami Ibu dan Bapak mertua dengan takdzim. Kulihat binar syukur dan haru nampak di mata mereka.

Ibu mertua mencium pipi kanan dan kiri Mas Afnan, seolah berat melepaskan putra bungsunya. Yang kata mbak Mirna ketika bercerita, Mas Afnan adalah putra dan adik kesayangan mereka.

Keharuan menyelimuti kami. Ibu dan Bapak juga menunjukkan rasa syukur melihat putrinya telah dipinang seseorang.

Setelah kami selesai menyalami mereka satu-persatu, aku dan Mas Afnan beranjak menuju ke kamar pengantin untuk membersihkan riasan wajahku, dan berganti baju.

Suasana canggung masih terasa. Apalagi ketika dalam satu kamar hanya diisi oleh kami berdua.

Mas Afnan duduk di tepi ranjang. Dia tersenyum, menunjukkan barisan giginya, dan mengulurkan tangannya kepadaku. Dengan malu-malu kusambut tangannya dengan mencium punggung tangannya.

Berharap mendapat kecupan di keningku dengan ucapan doa-doa, tapi tidak kudapatkan. Hehehe, apakah karena diapun malu, atau karena dia lupa doanya? Atau dia mengucapkan doa dalam hatinya?

Dengan tatapan mata yang membuatku salah tingkah, dia mencoba menggodaku dengan senyum yang menawan.

"Sayang dulu, Dik," ucapnya lirih.

Aku pura-pura tidak mendengar. Karena memang suaranya hanya terdengar samar-samar. Tertutup dengan suara nasyid dari sound system.

"Dik," panggil Mas Afnan dengan menarik tanganku pelan.

"Apa?" tanyaku padanya.

"Sayang dulu," ucapnya lagi sambil tersenyum dan menunjuk ke arah pipinya sebelah kanan.

Aku ragu untuk mendekat, takut kalo sebenarnya dia hanya ingin menggodaku saja.

Dengan malu-malu kukecup pipinya dengan kilat. Ini kali pertamaku mencium pipi seorang laki-laki. Ada debar kencang dalam dada, dan rasa panas yang menjalar. Mungkin pipiku sudah merona entah seperti apa. Yang kurasa hanyalah panas di kedua sisinya.

"Trimakasih ya, Dik," ucapnya sambil tersenyum.

Hanya kubalas dengan anggukan dan tersenyum malu-malu meong.

Dia bergegas melepas jas hitamnya. Dan membantuku membersihkan make up di wajah yang membuatku gerah. Bisa dihitung dengan jari berapa kali aku dimake up seperti ini. Mukaku seolah tebal dan untuk tersenyumpun susah.

"Dik, makan yuk, aku lapar," ucapnya setelah selesai membantuku melepaskan lilitan pada jilbab yang kupakai dan mengambil jarum pentulnya.

Aku menanggapi dengan mengulum senyum. Mengingat bahwa dia pernah mengakui akan dua hal yang tidak bisa dia tahan. Yaitu lapar dan ngantuk. Jadi untuk makan dan tidur, dia selalu tepat waktu.

"Mas, tolong tunggu di luar dulu ya, aku mau ganti baju," pintaku padanya.

"Aku tunggu di sini nggak papa kan?" godanya lagi sambil menaik turunkan alisnya.

"Nggak ah malu, sana, Mas keluar dulu," pintaku seraya mendorong pelan punggungnya. Mengarahkan ke arah pintu.

Yang didorong hanya terkekeh pelah sambil membuka pintu kamar.

Tak kusangka, Mas Afnan yang katanya pendiam, ternyata bisa saja menggodaku.

Setelah mengganti baju kebayaku dengan gamis dan khimar, akhirnya aku keluar kamar.

Mengambil sepiring nasi untuk kita berdua. Mencoba mengamalkan sunnah Rasul dalam setiap urusan rumah tangga. Supaya semakin menumbuhkan rasa cinta. Apalagi cintaku dengan Mas Afnan yang baru saja tumbuh, memang harus selalu dijaga sejak semula.

Next

Mohon Kritik Dan Sarannya.

#Catatan_seorang_perantau
#Sangatta_kota_tercinta
#Bumi_etam

Jodoh Tepat Waktu (Proses Menuju Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang